Mengapa Harus Perubahan?

Presiden Joko Widodo. Foto: net.
Presiden Joko Widodo. Foto: net.

PETA Pilpres 2024 sudah semakin mengerucut, alternatif menguncup. Pilpres akan menampilkan 3 capres: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga capres itu didukung oleh 5 partai, sementara 4 partai tersisa merasa cukup memperebutkan kursi cawapres.

Tiga kursi cawapres tampaknya bakal diisi oleh tokoh Nahdlatul Ulama, TNI, dan Golkar. Sayangnya, siapa bacawapres itu tidak menjadi topik artikel ini.

Artikel ini memusatkan perhatian kepada pertarungan gagasan. Adakah perbedaan signifikan diantara isu-isu politik ekonomi yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat?

Saya menengarai terdapat perbedaan besar antara kandidat Ganjar dan Anies, sementara Prabowo tampaknya sedang mencari jalan tengah. Artikel ini akan berfokus kepada perbedaan Ganjar vs Anies saja.

Perbedaan isu kampanye Ganjar vs Anies sangat penting kita elaborasi karena keduanya dilatarbelakangi tata-nilai dan ideologi yang berbeda, dan dengan sendirinya menawarkan masa depan yang juga sangat berbeda. Perbedaan keduanya, dikatakan oleh Benny K. Harman, sebagai perbedaan di antara kubu pro-perubahan dengan kubu pro-status quo.

Seirama dengan itu, Jansen Sitindaon, teman separtai Benny, mengungkapkan hadirnya persaingan di antara Blok Perubahan dengan Blok Lanjutkan. Persoalannya apa yang ingin dipertahankan atau dilanjutkan? Apa pula yang perlu diubah?

Objek dari perubahan dan pelanjutan tentulah kebijakan pemerintah rezim Jokowi di segala bidang. Di bawah ini akan diuraikan apa kebijakan dimaksud. Dan kemudian akan dideskripsikan pula apa arti "pro-status quo" dan "pro-perubahan".

Ekonomi Politik Jokowi

Kebijakan yang ditawarkan Jokowi kepada rakyat tidak ada hubungannya dengan janji-janji kampanye. Semua janji-janji itu hanya omong kosong saja, ia sepenuhnya mengerjakan hal yang lain, hal yang ia persiapkan secara diam-diam. Apakah Jokowi telah menipu rakyat?

Tampaknya begitu. Janji kampanye bukanlah hal yang mengikat bagi Jokowi. Hal itu terbukti ketika ia berkampanye pada Pilgub DKI 2012. Ia menyalakan antusiasme rakyat yang ingin Indonesia memiliki industri mobilnya sendiri.

Tetapi mobil Esemka yang kata Jokowi 100 persen mobil Indonesia dan telah dipesan 6.000 unit ternyata zonk. Industri mobil Esemka itu tidak pernah ada, hanya komoditas palsu untuk mendapatkan suara rakyat saja.

Demikian pun janji-janjinya pada pilpres. Sejak 2014 sampai dengan sekarang tidak ada revolusi mental atau pembangunan manusia, dua tema pokok yang ditawarkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.

Secara diam-diam Jokowi mengerjakan hal yang lain. Apakah itu? Saya tidak bermaksud menunjuk projek IKN atau ibukota negara baru. Walaupun proyek itu juga tidak pernah disampaikan dalam kampanye 2019.

Kebijakan ekonomi politik Jokowi, yang ia kerjakan sejak ia berkuasa di 2014, adalah sesungguhnya barang dagangan Jokowi. Kebijakan itu dibuat dengan cara melampaui hukum dan mengabaikan berbagai kepentingan sehingga menimbulkan risiko politik yang tinggi. Namun rezim merasa punya kendali yang kokoh atas kabinet dan DPR sehingga mereka yakin mampu mengatasi risiko itu.

Namun mereka pun tahu kekerasan politik tidak bisa dijalankan dalam jangka panjang. Bukan hanya karena akumulasi ketidak-puasan yang semakin sulit terbendung, lebih dari itu adalah ancaman kebangkrutan keuangan negara yang terkuras akibat jor-joran pembangunan infrastruktur.

Harapan rezim adalah pada suatu ketika, yang tidak terlalu lama, kebijakan ekonomi politik itu akan berbuah manis, yaitu pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pada saat itulah rezim dapat memanen legitimasi, dalam arti mendapatkan kepercayaan kepada rakyat bahwa negara tidak akan bangkrut.

Kapan hal itu tiba? Rezim berharap tidak melebihi masa jabatan Jokowi.

Kebijakan ekonomi politik Jokowi disusun, dijalankan tanpa deliberasi oleh publik, setidaknya oleh DPR. Mengapa? Karena di dalamnya terlalu banyak kontradiksi dan kontroversi.

Kalau rencana tersebut diungkap secara terbuka ke publik, rezim khawatir tidak akan mampu menahan kritisisme. Rezim pada akhirnya terpaksa menggunakan kekerasan politik juga, namun dengan punggung terbuka dari serangan-serangan publik.

Big Push Jokowi dan Ciri-cirinya

Kebijakan ekonomi politik Jokowi disebut Big Push. Secara teoritis kebijakan itu sama sekali tidak baru, dasar teorinya sangat tua, dapat dianggap sebagai perintis teori ekonomi pembangunan. Teori itu dikembangkan pertama kali oleh Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943.

Hampir setengah abad kemudian teori ini dipopulerkan kembali oleh Murphy dkk (1989), Matsuyama (1992), Krugman (1991) dan Romer (1986).

Model tersebut merekomendasikan pembangunan infrastruktur (social overhead capital) secara besar-besaran sebagai “syarat minimum yang tidak dapat dipisahkan” untuk tumbuhnya industri-industri yang saling berkaitan dengan harapan akan mendapat percepatan dari efek skala ekonomi dan struktur pasar oligopolistik (Rosenstein‐Rodan 1979).

Penerapan model pembangunan Big Push dilandasi oleh keyakinan rezim bahwa Indonesia membutuhkan industrialisasi. Suatu industri berkaitan dengan industri lain dalam pola yang disebut komplementaritas. Alih-alih membangun satu industri yang tidak optimal karena komplemennya tidak hadir, Rosenstein-Rodan menyarankan suatu kompleks industri dimana semua industri komplemen hadir secara simultan.

Dengan begitu skala ekonomi bisa dimaksimalkan untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga ekonomis. Menurut skema model pembangunan ini peran negara adalah menyediakan infrastruktur (jalan, tol, jembatan, bandara, pelabuhan, dan sebagainya). Sementara swasta menanamkan modal di berbagai sektor industri.

Model pembangunan ini telah banyak dijalankan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Soeharto dan SBY juga membangun infrastruktur dalam jumlah besar. Menjelang akhir masa jabatan SBY meluncurkan MP3EI atau Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang pada dasarnya adopsi atas model pembangunan Big Push.

Namun terdapat perbedaan yang mendasar antara Big Push di era Jokowi dengan era Soeharto maupun SBY, bahkan dengan Big Push di negara-negara lain.

Ciri utama Big Push Jokowi adalah kebijakan ini dijalankan dengan sekaligus menerapkan ideologi neoliberal. Maksudnya, tidak cukup dengan mengalokasikan ribuan triliun untuk membangun infrastruktur, Jokowi mengubah kerangka kerja hukum pidana, pertanahan, pertambangan, kehutanan, ketenagakerjaan, investasi, lingkungan hidup, sistem pelayanan publik, dan lain sebagainya untuk keuntungan investor. Misalnya, apa yang ia lakukan melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja.

Dengan kata lain, Jokowi menempatkan investor atau pemilik modal sebagai penentu utama dari kerangka kerja hukum dan administrasi publik di Indonesia. Kuatnya peranan pemilik modal dalam setting kenegaraan semakin kokoh setelah Jokowi juga mengerdilkan peranan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kaidahnya sederhana, ketika tenaga counter-corruption semakin melemah, kekuatan modal semakin sulit dihalangi dalam mengatur proses pengambilan keputusan di pemerintahan.

Dukungan administrasi dan hukum kepada kebijakan Big Push adalah praktik biasa, yang juga dilakukan di negara-negara lain. Masalahnya, di negara-negara lain dukungan tersebut diberikan sebagai perkecualian, seperti misalnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada perusahaan di Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone).

Sementara oleh Jokowi, dukungan itu diberikan dengan mengubah seluruh norma standar negara. Seperti tercantum dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, Jokowi menerapkan norma-norma istimewa yang menguntungkan oligarki di seluruh negeri, di seluruh sektor tanpa kecuali.

Artinya, dukungan itu bukan lagi fasilitasi melainkan ideologisasi, dan dalam hal ini adalah ideologisasi neo-liberal.

Ciri spesifik kedua dari kebijakan Big Push Jokowi adalah penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Utang pemerintah sejak 2014 telah meningkat dari Rp 2.600 triliun menjadi Rp 7.700 triliun pada akhir Desember 2022.

Di luar itu, Big Push juga dibiayai oleh utang BUMN, pada akhir tahun 2022 utang itu mencapai Rp 1.640 triliun. Perhitungan secara kasar, sampai akhir tahun 2022, Jokowi telah menggunakan utang sebesar Rp 6.840 triliun untuk membiayai proyek-proyek Big Push-nya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Seperti diketahui, Orde Baru juga membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun, semua itu dilakukan pada saat negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak pada awal dekade 1970-an. Demikian juga Presiden SBY, ia menggenjot pembangunan infrastruktur saat negara sedang menikmati booming harga komoditas, yang berakhir pada 2013 silam.

Penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan juga hal yang biasa, semua presiden di Indonesia melakukannya. Masalahnya terletak pada nilainya. Utang yang sangat besar akan meningkatkan tekanan terhadap keuangan negara.

Bunga dan cicilan utang itu harus dibayar oleh APBN. Bila kecepatan kenaikan utang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan (pajak), kapasitas fiskal pemerintah dengan sendirinya akan menyusut. Hal itu akan memengaruhi kemampuan negara memenuhi aneka kebutuhan rakyat, seperti subsidi, jaminan kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu berdalih bahwa utang telah dikelola dengan hati-hati (prudent) dan tidak membebani keuangan negara. Ia mencontohkan bahwa debt ratio kita masih 41 persen, masih jauh dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60 persen.

Sebagai perbandingan ia menunjuk rasio utang terhadap PDB (debt ratio) Jepang (236%), India (90%), dan Amerika Serikat (125%), yang jauh melampaui posisi Indonesia. Perbandingan ini tidak setara (apple to apple) sebab setiap negara adalah khas.

Keuangan negara Jepang masih dapat dibilang sehat, dalam arti sangat mampu membayar utangnya, karena Debt Service Ratio-nya pada tahun 2021 hanya 1,06%. Demikian juga India (8%) dan Amerika Serikat (7,7%).

Debt service ratio adalah kemampuan keuangan pemerintah untuk membayar utang-utangnya, menurut BPK debt service ratio Indonesia untuk tahun 2021 adalah 46,77%. Angka ini jauh melampaui standar normal IMF, yaitu pada kisaran 25-35%.

Implikasi Big Push

Kedua ciri di atas, membedakan Big Push Jokowi dari kebijakan Big Push Soeharto, Big Push SBY dan negara lain di dunia.  

Kebijakan Big Push Jokowi ini menimbulkan sedikitnya empat implikasi negatif. Pertama, Big Push Jokowi bukan konsep pembangunan yang demokratis, “semua untuk semua” seperti pernah dikatakan Soekarno.

Big Push dirancang untuk menguntungkan pebisnis skala besar, konglomerat atau oligarki. Tidak mengherankan bila mereka pula yang akan menjadi pendukung utama Big Push. Oleh karena itu, Big Push membawa implikasi negatif kedua bahwa semua kepentingan yang menghalangi dan menghambat kepentingan oligarki harus disingkirkan.

Di antara kepentingan-kepentingan yang harus disingkirkan adalah kepentingan buruh (kehilangan pensiun, kesempatan karier, pelatihan, dan lain-lain), generasi mendatang (penumpukan utang negara, eksploitasi sumberdaya alam tak terpulihkan, kerusakan alam), pemilik tanah (akuisisi tanah oleh negara, penurunan harga tanah, perampasan tanah, dan lain sebagainya), dan konsumen (harga-harga meningkat).

Inilah hakikat dari disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Kedua undang-undang itu disahkan secara semena-mena, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan tanpa melalui debat terbuka di sidang umum DPR.

Akibat dari penyingkiran kepentingan para pihak secara semena-mena, politik bergejolak. Rezim Jokowi mengantisipasi gejolak itu dengan penindasan. Inilah implikasi ketiga yang mendorong mundur nilai-nilai demokrasi.

Jokowi memperalat hukum sebagai alat penindasan. Perangkat hukum yang digunakan adalah UU ITE dan UU KUHP. Dengan undang-undang itu rezim memperluas pengertian pemberitaan sehingga mencakup opini dan percakapan pribadi di media sosial.

Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat, Anton Permana, Gus Nur, Bambang Tri, dan sebagainya, menghuni penjara karena alasan itu. Ketika opini bisa dipidanakan, bukan karena penodaan agama, pencemaran nama baik, atau penghinaan di muka umum, maka kebebasan berpendapat hanya tinggal nama.

Sementara itu UU No.1/2023, yang menggantikan UU KUHP warisan Belanda, menjadi jauh lebih restriktif dalam menghadapi kontrol sosial. UU baru itu mengenakan pasal pemidanaan baru untuk  penghinaan presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pemidanaan demo tanpa pemberitahuan, hingga berita bohong.

UU KUHP yang baru itu bahkan jauh lebih parah daripada undang-undang kolonial yang digantikannya. Bila sebelumnya semua pasal di atas merupakan delik aduan maka pada undang-undang baru polisi dan jaksa dapat memprosesnya tanpa perlu pengaduan.

Dengan kata lain, pasal-pasal itu dapat dipergunakan untuk melakukan pembungkaman politik.

Implikasi keempat muncul dari utang yang jor-joran. Dengan hampir separuh anggaran negara terserap untuk membayar bunga dan cicilan utang maka negara akan semakin sulit memberikan insentif fiskal. Kalau ingin mempertahankan kapasitas fiskalnya, mau tidak mau, negara harus berutang lagi. Kalau sudah seperti ini, negara dikatakan terjerat dalam jebakan utang.

Maka tidak ada jalan lain. Proyek-proyek infrastruktur harus mulai membuahkan hasil dan memberi dampak signifikan kepada pertumbuhan ekonomi. Bila hal itu tidak terjadi, Indonesia akan bangkrut. Hal itu akan menjadi malapetaka bagi rezim Jokowi.

Pertaruhan Terakhir Jokowi

Jokowi dipastikan akan terpuruk bila pertumbuhan ekonomi tidak mencapai 7 persen. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi Jokowi akan mengklaim semua kesuksesan. Proyek-proyek mangkraknya dan penindasan politik yang dilakukannya akan dilupakan. Jokowi akan ditahbiskan menjadi hero.

Apa yang dibutuhkan untuk meraih klaim itu hanya satu: waktu. Waktu itu ia perlukan agar infrastruktur yang dibangunnya mulai menarik kehadiran investor. Sayangnya, harapan akan ada investasi berbondong-bondong tidak terwujud.

Investasi sangat seret walau perangkat hukum dan administrasi yang diciptakan Jokowi telah memudahkan hampir segala hal yang menjadi halangan investor, seperti perizinan, pengadaan tanah, perlindungan sengketa buruh dan lingkungan hidup, peraturan perpajakan, dan sebagainya.

Sebaliknya, Jokowi saat ini justru menghadapi backwash effect; sejumlah jalan tol, kereta api, bandara dan pelabuhan yang selesai didirikan gagal beroperasi secara optimal sehingga berpotensi merugi.

Selain itu, beberapa BUMN mulai merugi dan hal itu memicu mereka untuk menjual infrastruktur yang telah susah payah mereka bangun dengan harga murah. APBN pun terancam, hampir separuh pendapatannya mesti dialokasikan untuk membayar bunga dan cicilan utang.

Keadaan ini tentu membuat Jokowi semakin frustasi. “Uang bersih” tidak datang memanfaatkan infrastruktur yang telah ada. “Uang kotor” juga tidak datang untuk memanfaatkan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).

Dalam kaitan itulah Jokowi menghendaki perpanjangan masa jabatan, baik melalui amandemen konstitusi yang mengizinkan 3 periode jabatan presiden atau penundaan pemilu yang memungkinkan dirinya mengumumkan keadaan darurat dan mendapuk jabatan presiden.

Bila kedua solusi itu tidak mungkin diwujudkan, pertaruhan terakhir Jokowi adalah siapa yang unggul dalam Pilpres 2024. Tentu saja ia ingin Ganjar Pranowo, putra mahkotanya, akan unggul. Kepada Ganjar, Jokowi meletakkan pertaruhan terakhir masa depan politiknya.

Mengapa Perlu Perubahan

Perubahan diperlukan bukan untuk memutus masa depan politik Jokowi. Biar rakyat memutus soal itu. Perubahan diperlukan karena eksperimen Jokowi sangat berbahaya dan membawa negara ke tepi jurang malapetaka. Jebakan utang sudah mengintai dan kalau hal itu terjadi Indonesia akan mengalami setbacks puluhan tahun ke belakang.

Perubahan juga perlu dilakukan karena Jokowi telah menanamkan ideologi neoliberalisme. Ideologi neoliberalisme berbeda dengan liberalisme. Bila liberalisme menjunjung tinggi kebebasan (freedom), bertujuan menciptakan pemerataan (equality) dan mendukung negara kesejahteraan. Sementara neoliberalisme menjunjung tinggi pasar bebas, mempertahankan konsentrasi kekayaan, penguasaan sumberdaya, dan menolak negara kesejahteraan.

Dalam filsafat neoliberal orang-orang miskin adalah kaum residual, orang-orang yang kalah dalam pertarungan hidup di pasar bebas. Kaum residual hanya punya hak filantropi alias belas kasihan. Untuk itulah ada Bantuan Sosial (bansos), Kartu Prakerja, Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, dan sebagainya.

Keseluruhan program itu disebut program Jaring Pengaman Sosial, suatu program negara sekadar mencegah orang miskin untuk mati. Mereka tidak boleh mati karena mereka adalah sumber pemasok buruh murah.

Kaum neoliberal tidak mempercayai keadilan sosial (social justice), kecuali yang diciptakan oleh pasar bebas dan pertumbuhan ekonomi. Di sini muncul kontradiksi. Bila prinsip pasar bebas juga berlaku dalam politik, maka kelompok dengan ekonomi kuat akan memenangkan pasar politik.

Dalam kondisi seperti itu tidak ada alasan bagi penguasa politik untuk tidak menguntungkan pemilik modal, yang adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain pada rezim neoliberal keadilan sosial sama sekali bukan prioritas, dan akan berlangsung selamanya.

Oleh karena itu pentas Pemilu 2024 dapat dilihat sebagai arena pertarungan kelompok Pro-Keadilan Sosial vs kelompok Pro-Pertumbuhan. Karena kelompok Pro-Pertumbuhan biasanya didominasi oleh oligarki, maka kelompok tersebut dapat pula disebut kelompok Pro-Oligarki.

Anda berada di kelompok mana?

|Penulis adalah anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia