Mengatasi Over Kuota Solar Bersubsidi

Ilustrasi: Hungary.
Ilustrasi: Hungary.

SOLAR bersubsidi rawan kelangkaan. Seperti peristiwa bebarapa pekan terakhir, solar bersubsidi mengalami kelangkaan di hampir seluruh Sumatera, Jawa dan Sulawesi dan beberapa tempat di kalimantan.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama karena kuota solar bersubsidi ditetapkan oleh pemerintah. Jumlah solar bersubsidi disepakati melalui mekanisme APBN karena menyangkut nilai subsidi yang diberikan oleh APBN. Bisa jadi nilai subsidi solar ini kurang yang berakibat pada jumlah solar subsidi menjadi sedikit.

Kedua, pengaturan solar bersubsidi ditentukan alokasinya oleh BPH migas. Badan ini juga sekaligus mengawasi penyaluran solar bersubsidi. Bisa jadi manajemen pengelolaan solar bersubsidi ini salah atau buruk sehingga alokasinya tidak sesuai kebutuhan.

Ketiga, solar bersubsidi berasal dari produksi sendiri dan impor. Pembatasan impor BBM bisa jadi merupakan penyebab kelangkaan solar bersubsidi. Pemerintah membatasi impor dalam rangka mengatasi defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan. 

Keempat, kebijakan pemerintah dalam hal transisi energi berkaitan dengan upaya mengganti solar dengan bio diesel gagal total. Akibatnya permintaan solar terus meningkat dan biodisel yang tidak laku menjadi sebab konsumsi solar melebihi jumlah yang diatur.

Kemungkinan kedua datang dari pengelolaan solar bersubsidi yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Pertama, bukti paling nyata adalah maraknya pencurian solar. Baru-baru ini adalah pencurian solar di Tuban menggunakan kapal langsung dari pipa Pertamina. 

Solar yang dicuri ini pasti ada pembeli. Pembelian solar gelap dalam jumlah besar mestinya terdata. Alarm pemerintah seharusnya menyala ketika solar dicuri dalam jumlah besar. Karena menyangkut kuota impor, nilai subsidi dan pasar dalam negeri.

Kedua, disparitas harga solar bersubsidi dengan solar tidak bersubsidi sangat jauh. Sehingga sangat memungkinkan bagi oknum untuk menjual solar bersubsidi ke pasar dengan harga komersial. Untung yang dapat diperoleh dari penjualan solar gelap sangatlah besar.

Ketiga, data penggunaan solar bersubsidi dalam jumlah besar, terutama oleh BUMN transportasi darat dan laut, serta BUMN energi, dan lain-lain, tidak pernah diumumkan secara terbuka. Seharusnya pemerintah mengatur dan memberitahukan berapa jatah setiap BUMN sehingga tidak ada penyelewengan. Tidak menutup kemungkinan jatah solar bersubsidi masing perusahaan dijual kembali dengan harga pasar/mahal.

Kemungkinan ketiga bisa berasal dari dalam Pertamina sebagai penanggung jawab distribusi solar bersubsidi. Pertama, Pertamina kekurangan uang untuk membeli atau mengimpor solar. Hal ini dikarenakan utang subsidi solar pemerintah kepada Pertamina tak kunjung dibayar. 

Utang tersebut menumpuk dari tahun ke tahun. Utang BBM bersubsidi pemerintah pada Pertamina antara tahun 2017-2019 sekitar Rp 51 triliun. Sekarang bisa jadi utang tersebut mencapai Rp 75-100 triliun.

Kedua, manajeman buruk Pertamina dalam memberikan utang solar kepada perusahaan-perusahaan swasta. Banyak piutang yang tidak bisa ditagih. Hal ini mengakibatkan Pertamina kekuarangan uang secara langsung dan kehilangan solar.

Ketiga, kebakaran kilang Pertamina secara beruntun dalam setahun terakhir. Hal ini mengakibatkan kapasitas kilang berkurang. Kilang Pertamina yang terbakar adalah kilang Plaju, kilang Cilacap, kilang Balongan dan kilang Balikpapan. Output BBM, termasuk solar, otomatis berkurang.

Keempat, Pertamina tidak mampu lagi berkoordinasi dengan baik akibat kebijakan holding dan sub holding. Terjadi kekacauan dalam tubuh Pertamina terkait pengalihan aset induk kepada sub holding yang dulu berstatus sebagai anak perusahaan. Perusahan itu juga mengalami kerancuan dalam pengalihan modal operasional, kesulitan dalam pembuatan keputusan pada tingkat sub holding dalam usaha menjaga stok, menambah kuota, dan kendala lain. 

Intinya bahwa kemampuan pertamina menata organisasi sesuai dengan perintah presiden dan menteri, untuk melalukan privatisasi anak perusahaan Pertamina, tidak mampu dijalankan dengan cepat. Bisa jadi karena takut ditangkap KPK, Bareskrim Polri dan Kejaksaan.

Hal-hal di atas adalah berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di tengah kelangķaan solar bersubsidi. Upaya mengatasi ini tidak mungkin dalam waktu cepat. Kecuali Presiden Jokowi mengambil komando langsung mengatasi darurat solar ini. 

Perintah pertama kepada Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri BUMN, dan BPH Migas. Presiden perlu memerintahkan mereka segera mengambil langkah yang dipandang perlu mengatasi darurat solar. 

Perintah kedua kepada Pertamina untuk memperbaiki koordinasi di dalam. Perintah ketiga kepada aparat keamanan untuk mengusut tuntas pencurian solar dan menghentikan sama sekali peredaran solar gelap. Sulit ya?

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.