Menghantam SBY Dipeluk Moeldoko

Ilustrasi: 123rf.
Ilustrasi: 123rf.

KISRUH di medan perpolitikan Indonesia tak hanya menguntungkan para petualang politik praktis yang menjadi liar keluar batas etika dan moral. Kondisi ini memberikan keuntungan bagi pengulas politik yang berwujud tulisan tanpa literasi profesionalitas layaknya seorang penulis.

Sebut saja Zeng Wei Jian yang bernarasi berbagai artikel politik secara 'absurd' hanya demi kepuasan pribadi semata. Dengan mencermati sepak terjangnya dalam kisruh Partai Demokrat dapat ditelusuri bahwa idealisme pihak yang didukungnya bukanlah kesungguhan jalur murni keberpihakannya, melainkan tak lebih dari ‘vested interested’ belaka.

Bukan tanpa alasan bila menelusuri artikel pujian sanjungannya terhadap sosok Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo selagi menjabat Panglima TNI adalah fakta tragis yang berseberangan ketika GN menjadi salah seorang Deklarator KAMI. Jejak digital memang nyaris seperti cermin diri tanpa retakan.

Pada periode berbeda dapat ditemukan antagonis narasi dari artikel ZWJ lainnya terhadap sosok figur yang tengah menjadi sorotan publik. Ulasannya bisa seperti 'madu' juga dapat berupa sejenis 'racun' hasil campuran opini bercampur kutipan bacaan versi tokoh di 'wikipedia' dimana semua itu adalah semacam 'by order' belaka.

Zeng yang semasa kepemimpinan SBY bukanlah siapa-siapa bahkan menyandang istilah ‘kuli tinta’ pun tidaklah layak saat itu, entah belajar atau memang bakat terpendam, mulailah ulasan-ulasan artikel politiknya mengalir khususnya terkait pilpres pasca era SBY.

Namun sayangnya ibarat mampu mengendarai kendaraan tanpa belajar resmi sehingga sering tidak tahu aturan atau etika mengemudi di jalan.

Arogansi Zeng terlalu lancang menyerang dan merendahkan SBY dan AHY dalam hirarki jabatan dan karir juga kemampuan dan kapasitas mereka dalam tataran elite politik dan kebangsaan di negeri ini. Tak ada seujung kukupun kapasitas Zeng dalam jasa bagi negeri ini dibanding AHY apalagi SBY.

Ulahnya hanya berlaku bagi pihak yang belum mengenal rekam jejaknya sehingga terpukau saat 'madu' pujian digulirkan, padahal baginya hanyalah sensasi yang berujung pada 'harga' balasannya.

Maka tidaklah heran ribuan 'follower' nya menjauh dan yang  bertahan pun sering mencibir dan menyindirnya, juga hampir tak ada link medsos manapun bersedia merilis tulisan ulasannya.

Sepertinya cara mencari simpatik dengan menyerang lawan yang tengah berseberangan dipakai sebagai teori menghantam SBY agar dapat pelukan Moeldoko sementara ini tampak berhasil, semoga saja  tidak kebablasan.