Menimbang dan Membaca Arah Pengunduran Pemilu 2024 

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

Sebelumnya oleh Dahlan Iskan dalam tulisan ringannya tersebar di medsos juga mengingatkan bahwa betapa mudahnya untuk memperpanjang masa kekuasaan Presiden Joko Widodo.

Bahkan sebelum tulisan Dahlan Iskan, penulis sendiri secara ringan pernah berdiskusi dengan aktivis Jakarta yang memiliki jalur khusus ke Istana, bahwa perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi masih mungkin dilakukan dengan berbagai risiko.

Artinya pergerakan hembusan angin memang dicurigai ditata dan diskenario dari istana, begitu hemat penulis. Dari level sepoi-sepoi basah hingga kencang.

Perlawanan opini masih datang dari yang kontra, termasuk tulisan ini. Adapun alasan yang penulis ajukan ada tiga hal; 1. Konstitusional 2. Sosial politik  3. Moral.

Tiga alasan yang akan penulis kemukakan diharapkan menjadi pertimbangan dan membaca arah politik ke depan.

Konstitusional, dalam UUD 1945 tegas menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali, oleh DPR hari pelaksanaan juga telah ditetapkan tanggal 14 februari 2024. Pasal dalam UUD tersebut disemangati oleh reformasi untuk tidak mengulangi era Soeharto, di mana Soeharto bisa diajukan dan dipilih kembali berkali-kali.

Ada upaya pembatasan kekuasaan dalam kondisi apa pun. Baik presiden di akhir jabatan berprestasi atau tidak berprestasi, mayoritas menyukai ataupun kecewa. Pemilu tidak ada alasan untuk diundur atau memperpanjang masa jabatan.

Kemuliaan tujuan pembatasan masa jabatan dimaksudkan agar ada rotasi tampuk kepemimpinan sekaligus menghindari penumpukan kekuasaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Dahl (2011) kekuasaan bisa berujung pada hilangnya kuasa karena kenikmatan yang melingkupi, namun itu semua tergantung dari kekuatan oposisi politik.

Risiko tertinggi adalah rusaknya ketatanegaraan yang telah ada/dibangun. Pemilu adalah mekanisme yang didalamnya terkandung selain pemilihan presiden/wakil presiden juga memilih para wakil rakyat yang duduk DPR dan DPRD.

Pemilu secara imperative juga memerintahkan pada wakil rakyat, presiden dan wakil presiden mengakhiri masa bhaktinya, sehingga jika ada pengunduran atau perpanjangan kekuasaan presiden tak ada lembaga yang berwenang untuk memperpanjang masa jabatan dana tau mengangkat wakil-wakil rakyat.

Praktis tatanan demokrasi makin rusak di tengah melorotnya indeks demokrasi Indonesia. Upaya konstitusional untuk mendapatkan dasar legitimasi adalah dengan amandemen UUD 1945 kembali atau melalui pemberlakuan Dekrit Presiden, namun jika bola salju kekuasaan sekarang  berhembus hanya untuk memperpanjang kekuasaan jelas sudah makin mengkhianati reformasi 1998.

Penolakan akan makin keras dari masyarakat, dan jika kekuasaan tetap bersikukuh dengan berbagai cara maka model pemerintah diktator konstitusional telah menemukan jalan di Indonesia.

Politik. Jika benar sinyalemen awal bermula dari istana (perlu dibuktikan), maka dalam hal ini Presiden berpotensi melanggar konstitusi UUD pasal 7 sehingga yang terjadi justru pemakzulan karena presiden telah melakukan perbuatan tercela —melanggar UUD 1945.

Kecurigaan keterlibatan istana memang masih timbul tenggelam, namun dengan posisi Presiden dan keluarganya belum begitu aman. Anaknya bisa tersandung masalah hukum.

Manuver pun dilakukan kembali dengan pion Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan. Partai nonoposisi yang para ketuanya tersandera hukum. Mereka dimanfaatkan untuk test the water kembali dengan diikuti oleh survei kepuasan masyarakat terhadap pemerintah Joko Widodo. Hasilnya 70% lebih menyatakan puas.

Terang-benderang bahwa gerakan perpanjangan masa jabatan presiden ini adalah sistimatis. Publik membaca bahwa prilaku politik demikian sesungguhnya hanya menunjukkan kesewenang-wenangan elite partai politik dalam menjalan fungsinya, baik fungsi legislasi maupun check and balances.

Elite partai politik telah dengan sengaja membuat kacau sebuah keputusan yang telah disepakati bersama. Kenapa PAN dan PKB yang tiup peluit? Ini juga sebagai petunjuk verbal bahwa Presiden Joko Widodo makin berseberangan dengan Ketua Umum PDIP Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Adalah PDIP juga selaku partai politik yang pertama menolak upaya perpanjangan masa jabatan presiden/ pengunduran pemilu. Secara politik publik juga dapat membaca arah koalisi pemilu yang akan datang bahwa rezim Jokowi sudah memiliki dua partai medioker PKB dan PAN sedang Golkar belum masuk dalam gerbong Jokowi karena banyaknya faksi di Golkar dan memiliki tokoh-tokoh yang berpengaruh kuat ke daerah-daerah.

Dengan arti lain, dukungan partai politik Jokowi sebenarnya lemah. Sehingga masuk akal jika Presiden Joko Widodo memiliki kesan melakukan pembiaran atas isu ini untuk bergulir, padahal untuk mengakhirinya sebenarnya mudah.

Presiden tinggal tampil ke tengah lalu memberikan maklumat bahwa pemilu tidak boleh diundur, tetap dilaksanakan tahun 2024 sesuai aturan yang telah disepakati. Selesai.

Namun hal ini tidak dilakukan karena nuansa politik sedang menunjukkan bahwa bandul politik sedang bergeser. Maka wacana penolakan akan terus berkumandang.

Apabila makin liar malah bisa berbalik arah, rakyat menuntut agar pemilu dipercepat.

Moral. Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 telah mengamanatkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Sesungguhnya tidak pantas elite partai malah mengajari masyarakat untuk tidak taat aturan.

Sekalipun apa yang dikatakan Bahlil Lahadalia dan Muhaimain berdasar dari suara harapan para pengusaha/konglomerat dan analisa big data yang dimilki bahwa rakyat tidak keberatan jika pemilu diundur dengan cara perpanjangan masa jabatan presiden.

Sungguh perilaku tersebut selain tidak pantas juga menunjukkan cacat moral karena sedari awal diniatkan untuk melanggar apa yang sudah diputuskan sendiri dan disepakati bersama. Hukum tidak ditegakkan moral dibuang jauh untuk dan demi kepentingan pragmatis.

Sehingga wajar jika pada titik ini belum ada respons yang dapat dipertanggungjawabkan dari para peniup peluit.

Secara konstitusional, politik dan moral sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak melaksanakan pemilu pada tahun 2024 sesuai aturan yang berlaku. Kubur dalam-dalam ambisi Presiden Jokowi untuk membuat arus baru kekuasaan pasca lengser karena ia memang lahir dari rakyat.

Cukuplah berkhidmad kepada rakyat dengan cara taat konstitusi, hindari sedini mungkin otak-atik konstitusi demi ambisi politik dan kekuasaan.

Habibie dan Gus Dur setidaknya telah memberikan contoh meskipun berdua lengser ditengah jalan tetap dikenang sebagai presiden yang lahir dari sipil dengan kenangan indah.

Jangan sampai Presiden Joko Widodo pasca lengser dikenang sebagai presiden gagal sekaligus otoriter. Jangan !! 

| Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK) Yogyakarta.