Menimbang Ulang Rencana Pemilu Serentak 2024

Ilustrasi: BBC.
Ilustrasi: BBC.

UNDANG-Undang 10/2016 mengatur tentang pelaksanaan Pilkada serentak 2024. Tidak hanya itu, pemilihan presiden, DPD, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota juga akan dilakukan pada tahun yang sama.

Tentunya UU ini dibuat dalam situasi yang normal tanpa mempertimbangkan force majeure yang akan terjadi. Dengan demikian, maka UU ini sangat compatible dengan situasi yang normal.

Namun pertanyaan muncul dalam benak publik saat ini ditengah beredarnya draft RUU Pilkada, masih pantas kah Pilkada serentak dilakukan pada 2024? Siapa yang dirugikan dan diuntungkan? Lalu bagaimana jalan keluar yang terbaik.

Kalau melihat data kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2022, ada sekitar 101 daerah yang akan berakhir masa jabatan pada 2022. Terdapat 7 (tujuh) provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota.

Pada tahun 2023 terdapat 171 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya. Kalau kita akumulasi jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatan pada 2022-2023 adalah 272 kepala daerah.

Itu artinya terjadi kekosongan kekuasaan di 49,64 persen daerah yang akan dipimpin oleh penjabat sementara.

Melihat realitas yang terjadi saat ini, nampaknya sangat irasional jika pilkada serentak tetap dilakukan pada 2024. Sementara negara kita sedang dalam situsi darurat (emergency) akibat pandemic covid-19. Kerusakan ekonomi dan sosial tidak bisa dihindari.

Kepala daerah sebagai nahkoda dalam sebuah pemerintahan di daerah adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar dalam situasi yang terjadi saat ini.

Oleh sebab itu sirkulasi pejabat di daerah mesti berjalan dengan normal. UU Pilkada sebagai produk politik mesti juga peka terhadap situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Sebagai sebuah produk politik, UU sangat terbuka untuk di-review, ia bukan kitab suci sehingga haram untuk dikaji ulang.

Pilkada Serentak untuk Siapa?

UU Pilkada serentak menjadi ramai diperdebatkan saat ini. Bahkan partai politik baik yang lolos ke senayan pada pemilihan legislatif tahun 2019 maupun yang tidak lolos juga memberikan pandangan.

Menariknya adalah ada dua kekuatan yang terjadi saat ini. Ada yang mendukung pelaksanaan pilkada serentak dilakukan 2024. Namun ada juga yang menyatakan bahwa Pilkada serentak dikaji kembali sehingga pilkada 2022 dan 2023 tetap digelar.

Abraham Lincoln (1863) presiden Amerika Serikat yang ke-16 mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Lincoln hendak mengajarkan kepada kita bahwa muara utama dari demokrasi adalah kepentingan rakyat. Tidak boleh demokrasi dijadikan sebagai instrumen oleh elite tertentu demi kepentingan elite atau kelompok tertentu untuk melanggengkan sebuah kekuasaan atau hegemoni politik.

Keberadaban politik diuji dalam situasi yang sulit seperti saat ini. Kita bisa menilai bagaimana komitmen dari partai politik terhadap kepentingan rakyat.

Apakah partai memperjuangkan kepentingan rakyat atau sedang bersandiwara seolah-olah melayani kepentingan politik rakyat, padahal sedang membangun siasat untuk kepentingan partai dan kelompok.

David Mathews seorang Guru Besar di Kettering Foundation, Amerika dalam karyanya The Ecology of Democracy (Ekologi Demokrasi) mengisyaratkan bahwa keberlangsungan sebuah demokrasi sangat tergantung bagaimana setiap sub sistem bekerja dengan baik.

Jika terdapat sumbatan-sumbatan dalam setiap sub sistem, maka demokrasi sesungguhnya mati. Lembaga-lembaga politik yang buruk menandakan demokrasi kita mati.

Meminjam apa yang diungkapkan oleh Levitsky dan Ziblatt dalam karyanya “How Democracy Die”. Kematian sebuah demokrasi ketika menjadikan lawan politik sebagai musuh yang harus dihabiskan. Padahal dalam alam demokrasi, diskursus adalah prasyarat utama sebelum diambil sebuah keputusan yang terbaik.

Rakyat punya kepentingan besar dalam hajatan Pilkada 2022 dan 2023 yang tersebar di 272 wilayah di Indonesia. Itulah sebabnya begitu banyak elemen masyarakat bahkan beberapa partai mendorong agar pelaksanaan pilkada tetap seperti jadwal semula.

Hal ini tentu berangkat dari pertimbangan efektitifitas pelayanan publik agar tidak terganggu.

Menurut pandangan saya, pilkada serentak yang diamanatkan oleh UU 10/2016 adalah sebuah ekperimen yang berbahaya. Akhirnya Pilkada hanya sekedar prosedural saja, asal ada Pilkada. Akan tetapi kualitas dari Pilkada tersebut dipertaruhkan.

Mestinya kita belajar dari Amerika Serikat sebagai negara pencetus demokrasi modern serta negara dengan well educated. AS bahkan tidak berani melakukan campur aduk antara pemilihan presiden, legislative, senat dan gubernur.

Hal ini tentu untuk menjaga agar kualitas demokrasi tetap terjaga dan pemimpin yang terpilih benar-benar merupakan hasil dari kontemplasi para pemilih.

Jalan Keluar Terbaik

Revisi UU Pilkada adalah kebutuhan dan kehendak rakyat. DPR sebagai wakil rakyat tentunya mesti lebih peka dengan situasi kebatinan rakyat saat ini.

Keterpurukan situasi ekonomi dan sosial akibat pandemi Covid-19 yang dihadapi oleh rakyat saat ini sangat berat. Banyak yang kehilangan pekerjaan sehingga terjadi penggangguran dan meningkatnya jumlah orang yang tidak mampu.

Oleh sebab itu, kepastiaan adanya rotasi yang normal terhadap kepala daerah yang akan habis masa jabatan pada 2022 dan 2023 menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar oleh siapapun.

Partai politik melalui anggota DPR mesti menjadi penyelamat rakyat. Tidak boleh mengorbankan rakyat hanya karena adanya kepentingan politik pragmatis yang menguntungkan kepelompok tertentu.

Sebagai politikus sejati, hendaknya kepentingan dan keselamatan rakyat adalah hal yang utama.

Pilkada yang dilaksanakan pada 2022 dan 2023 adalah bagian dari tindakan penyelamatan rakyat dan demokrasi.

| Penulis adalah peneliti Indopolling dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.