Pengamat politik, Ujang Komarudin, mengatakan materi kampanye yang digunakan oleh elit politik pada 2019 seharusnya ditinggalkan. Namun dia tidak melihat, menjelang Pemilu 2024, isu yang diangkat menjadi lebih berkualitas dan menarik.
- Penunjukan Miswar Fuadi sebagai Sekjen PNA Bukan Hasil Rekonsiliasi
- Masa Tugas Telalu Panjang, Pelaksana Tugas Kepala Daerah Bisa Jadi Pejabat Definitif
- DPR Aceh Minta Kinerja SKPA segera Dievaluasi
Baca Juga
“Hari ini kita melihat elit politik miskin keteladanan. Jarang yang dapat menjadi contoh anak muda," kata Ujang dalam diskusi virtual yang digelar oleh Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo, Rabu, 29 Juni 2022.
Ujang mengatakan saat ini dibutuhkan ide dan gagasan untuk masyarakat, bangsa dan negara. Ide dan gagasan berisi berita bohong atau ujaran kebencian dan isu sara tidak seharusnya ditinggalkan.
Dia juga mengatakan politikus jangan lagi membangun narasi-narasi negatif dan kampanye hitam. Rakyat, kata dia, juga tidak membutuhkan komunikasi yang bertele-tele tanpa bukti.
"Berikan komunikasi yang sederhana dan baik, yang berlandaskan berdasarkan prestasi kinerja,” kata Ujang.
Dalam kesempatan itu, anggota Komisi II DPR RI, Agung Widyantoro, mengatakan pemilu serentak pada 14 Februari 2024 bakal berlangsung ketat. Partai politik mulai terbuka untuk menjalin kerja sama. Hasil komunikasi politik yang dibangun ketua umum partai politik menghasilkan keterbukaan di antara mereka untuk bekerja sama dan menggagas koalisi.
Hal ini dipertontonkan oleh Partai Golkar, PAN, dan PPP yang membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Sementara PKB, Gerindra dan PKS menjajaki kemungkinan berkoalisi.
"Tentu Pembentukan Koalisi mempunyai tujuan yaitu untuk memenuhi ambang batas presidential threshold dan memenangkan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk meningkatkan elektoral partai-partai tersebut,” kata Agung Widyantoro.
Sementara, dosen komunikasi politik PPS Moestopo, Najmuddin M Rasul, mengingatkan agar elit politik tidak mengabaikan regulasi, norma, dan etika demokrasi. Jika itu dilakukan, maka negara ini bakal kembali ke era non demokratik.
"Tindakan-tindakan itu merusak hasil reformasi, yaitu maraknya KKN, muncul berbagai konflik kepentingan, mematik ketidakpercaaan warga negara terhadap elit, dan berdampak terhadap penurunan partisipasi politik terutama generasi muda,” kata Najmuddin.
- Pemerintah Aceh Tak Ingin Berpolemik Soal Penundaan Pembahasan R-APBA 2024
- Perludem Laporkan Hakim PN Jakpus ke Komisi Yudisial
- Sandiaga Uno Minta Rizal Ramli Terus Bergerak untuk Perubahan Bangsa