Mental Ketengan

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

ASET unit geotermal milik PLN akan disubholdingkan. Lantas diiserahkan kepada Pertamina Geotermal Energi (PGE). Sementara PGE sendiri telah disubholdingkan, dipisah dari Induknya, Pertamina. Dengan demikian PGE dan unit pembangkit geotermal milik PLN selanjutnya akan dijual melalui pasar modal ntuk dimiliki sebagian sahamnya oleh swasta. 

Padahal unit pembangkit geotermal PLN amatlah penting dan strategis bagi PLN. Mengapa? Alasan paling utama adalah adanya kebutuhan PLN dalam meningkatkan bauran energi dan memulihkan nama baik PLN di mata publik nasional dan internasional terkait isu lingkungan hidup.

PLN tentu tidak mau dianggap gagal dalam meningkatkan bauran energi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga matahari, pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA) dan termasuk pembangkit listrik tenaga geotermal (PLTP). Namun upaya ini akan sia-sia jika seluruh pembangkit energi terbarukan ini malah dipreteli dan diserahkan kepada swasta melalui IPO..

Saat ini srangan berbagai pihak kepada PLN semakin bertubi tubi. Serangan datang karena PLN dianggap berkontribusi besar pada pencemaran lingkungan. Bahkan PLN dianggap tidak atau kurang mendukung komitmen Presiden Joko Widodo terhadap perjanjian perubahan iklim COP 21 Paris. 

Bahkan desakan terhadap PLN untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara terus bergema. Desakan itu datang dari organisasi lingkungan dan tekanan dari elite politik sendiri. Bahkan Pembangkit listrik utama sumber pemasukan bagi PLN yakni pembangkit PLTU 9-10 Suralaya diobok-obok oleh berbagai pihak. Alasannya PLN memproduksi listrik dari batubara yang ditenggarai sebagai sumber pencemaran nomor satu saat ini. 

Sebagian besar listrik yang dibeli PLN dari swasta berbahan bakar batubara. Ini harus dilakukan karena PLN terikat dengan aturan yang demikian:  PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan swasta. 

Pembangkit batubara swasta tidak pernah diobok-obok apalagi oleh pemerintah. Sementara pembangkit PLN terus dipreteli. Apakah karena sebagian besar pembangkit batubara di Indonesia dimiliki oleh bandar bandar kelas kakap, oligarki papan atas di negeri ini?

Sekarang unit pembangkit terbarukan yakni PLTG milik PLN dipreteli untuk diserahkan kepada pihak lain. Maka hilanglah kesempatan PLN untuk meningkatkan kapasitas menyongsong agenda perubahan iklim. Kondisi ini akan menyulitkan keuangan PLN di masa depan. Hal ini akan semakin menyulitkan PLN untuk mendapatkan sumber pembiayaan murah yang kita tahu akan ada dari isu perubahan iklim. 

Jika PLN gagal dalam mencapai target penurunan emisi, maka sudah pasti akan disapu oleh kesempatan perubahan iklim COP 26 yang akan berlangsung tahun ini di Glasgow. Padahal menurut Srii Mulyani, Menteri Keuangan, kesepakatan perubahan Ikim COP 26 akan jauh lebih mematikan perekonomian dibandingkan Covid 19. Sementara ujung tombak pemerintah untuk meraih target penurunan emisi adalah PLN. Semua orang tahu era ke depan adalah era  electricity, digitalisasi dan zero emisi. 

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).