Menu Ganja-Cannabis: Ulee Kareng, Amsterdam, dan New York

Ilustrasi daun Ganja. Foto: net.
Ilustrasi daun Ganja. Foto: net.

BANYAK orang tidak tahu bahwa masakan kuah beulangong, atau tepatnya kuah sie kameng yang hari ini menjadi salah satu kuliner Aceh dan go nasional, pada awalnya hanya masakan kampung.

Kuliner itu hanya tampil ketika ada khanduri rayeuk seperti pesta kawin, maulid, atau khanduri mate orang kaya. Awalnya menu itu jarang didapatkan setiap hari, karena memang tak ada khanduri rayeuk setiap hari. Menu itu baru mulai tersedia setiap hari, di satu dua tempat terbatas di Banda Aceh dan sekitar tahun tujuh puluhan

Kuah “sie kameng” memang khas Aceh Rayeuk yang mempunyai akar ekologi manusia dengan ternak yang dipelihara di hampir semua tempat di Aceh. Uniknya, hampir semua daerah di Aceh mempunyai menu masakan kambing yang sering disebut dengan kari, yang mempunyai kekhususan dengan varian masing - masing daerah. 

Penikmat masakan Asia, akan segera mengetahui bahwa akar dari menu kari kambing Aceh itu adalah India, karena di samping namanya kari, rempah yang digunakan juga copy paste rempah kari India.

Namun yang paling menarik dengan kuah “sie kameng”- termasuk sie leumo (daging sapi) di banyak tempat di Aceh, terutama di Aceh Besar adalah penggunaan biji ganja. Biji “pohon fly” itu  digunakan di samping untuk alasan maknyus, juga dapat membuat daging empuk dan meleleh di mulut. 

Banyak pemakan kuah sie kameng, segera setelah makan merasakan kantuk yang tidak biasa. Menurut sebagian cerita, itu adalah indikasi ada cannabis di situ. Tentang kadar kantuknya? Tentu saja sangat berkaitan dengan kuantitas dan kualitas biji atau daun ganja  yang digunakan dalam masakan itu.

Seorangpun tidak tahu asal muasal atau semenjak kapan masyarakat Aceh menggunakan daun atau biji ganja dalam masakan. Yang pasti dulu, di banyak tempat, rumah atau gampong Aceh jamak ditemui pohon ganja sebatang dua dekat crang- tempat Guci besar berisi air untuk cuci kaki sebelum naik ke rumah, atau di belakang rumah. 

Adalah normal jika nenek atau ibu minta sang cucu atau anak untuk mengambil sejumput daun atau biji ganja untuk memasak. Di Gayo batang ganja sering ditanam diantara pohon tembakau, bahkan disebut sebagai mitranya tembakau.  

Di tanah Malem Diwa itu, ganja pada masa itu tak jarang sering dijadikan obat tidur ampuh, atau pelawan gejala tak bisa tidur- insomnia. Tak jarang juga sebagiannya menjadikan ganja sebagai pemicu tidur bermalasan. 

Sampai dengan tahun tujuh puluhan, di banyak tempat di Aceh, konsumsi ganja, terutama digunakan bersama rokok bukanlah sesuatu yang aneh. Di satu dua, atau bahkan di beberapa tempat ada konsumen kelas berat yang daun ganjanya dilinting untuk diisap. 

Kalau ada anak muda yang tidur di Meunasah berkelanjutan dari pagi hingga menjelang siang, pada masa itu, besar kemungkinan orang itu adalah penikmat ganja kelas tinggi. 

Hal itu tidak menjadi isu besar dalam komunitasnya. Bahkan di beberapa tempat yang sangat khusus, mengisap ganja dijadikan “rite de passage”- “peucicap” - fase ritual pubertas memasuki awal dewasa yang keluar rumah, tidur di meunasah pada malam hari. Sang calon pemuda itu paling kurang harus merasakan rokok dan ganja untuk mendapat pengakuan sebagai anggota klub pemuda gampong itu. 

Ganja sebagai bagian dari kuliner dan tanaman fasilitator hiburan dan kesenangan di Aceh berubah statusnya ketika menjadi "komoditi". Saat itu ganja Gayo, terutama ganja Blang Keujreen mendapat pengakuan ganja terenak di kalangan turis yang mengunjungi Indonesia, terutama yang mengunjungi Sumatera Utara.

Tak jarang ada satu dua yang berjibaku mengarungi jalan dengan transportasi buruk mengunjungi Blang Keujreen dengan alasan melihat keindahan alam yang disekaliguskan dengan mencari  salah satu ganja terenak di dunia.

Dalam hal transformasi menu ganja “Kuah Kameng” rumahan atau masakan komunitas menjadi santapan komersial yang meluas, ada beberapa warung kecil di Banda Aceh dan Sibreh pada tahun tujuhpuluhan yang berperan banyak. 

Salah satu yang paling menonjol adalah warung Singgahan Ulee Kareng yang menunya kini “dirampok” karena tidak punya hak cipta yang dilindungi Undang-Undang, oleh banyak warung Nasi Sie Kameng hari ini. 

Kombinasi Gulai kambing, daging panggang lembut berasap dengan saus kecap, dan minuman penutup pepaya serut plus sirup cap patung dan air mentimun itu jelas kreasi original Warung Singgahan. Lebih dari itu ada cita rasa seni yang ditampilkan ketika usus kambing diikat secara artistik dan disambungkan dengan sekeping babat tipis kambing oleh sang Chef.

Sulit untuk mengatakan kuah itu tak menggunakan ganja pada masa itu, karena mayoritas orang yang menikmati masakan itu mengaku mengalami sedikit “rasa terbang” setelah menikmati menu Warung Singgahan.Tak jarang konsumen itu mengalami rasa kantuk yang luar biasa. 

Warung Singgahan tak pernah secara eksplisit menyebutkan tentang pengggunaan ganja, karena hal itu memang lumrah dalam kuliner Aceh, terutama di banyak tempat di Aceh Besar.

Kini di awal abad ke 21, ganja yang digolongkan dalam komoditi “Psikotropika” dan dilarang secara meluas di seluruh dunia, sudah mengalami sejumlah pengakuan dan legalisasi yang semakin meluas. Awalnya negara Belanda, kini legalisasi ganja telah meluas ke AS, Kanada, Swiss, Korea Selatan, Jerman, Australia, hingga Denmark.

Ketika  ganja mendapat legalisasi di negara-negara Eropa dan AS, itu bukan berarti ganja dapat dibeli di sembarang tempat, sembarang waktu, apalagi sembarang orang. Maksudnya adalah disamping legalisasi secara meluas penggunaan untuk kesehatan, diberikan juga toleransi kepada para penikmat dengan sejumlah ketentuan, termasuk izin menjual, dan jumlah yang dapat di beli dan dikonsumsi.

Di Belanda, penikmat ganja dapat membeli lintingan ganja tidak lebih dari 5 gram di banyak warung kopi di berbagai kota. Akan tetapi pembelian hanya diizinkan untuk mereka yang berumur 18 tahun keatas. 

Di AS sekalipun ganja diizinkan penggunaanya untuk kesehatan, mulai bulan ini, November 2022, tidak kurang 21 negara bagian telah mengizinkan ganja digunakan untuk konsumsi rekreatif-kenikmatan dan kesenangan. 

Para penikmat ganja kini dengan gampang bisa mendapatkan “barang” itu dengan mudah di New York, California, Colorado, dan banyak lagi negara bagian lainnya.  

Sementara di banyak negara bagian yang baru saja melegalkan penggunaan rekreatif, di Califórnia, legalisasi ganja untuk itu telah berlaku samenjak 2016. Penggunaannya tentu saja mengikuti aturan semisal 28,5 gram ganja kering yang boleh dibawa atau beli perorang, atau 8 gram yang sudah diproses menjadi ekstrak ganja. 

Umur pengguna juga harus 21 tahun keatas, tidak boleh menyetir setelah konsumsi, tidak bleh membawa ke negara bagian lain, dan tidak boleh mengkomsumsi di kawasan larangan merokok kota setempat. 

Apa yang menarik dengan legalisasi ganja di AS dan Eropa adalah ketika mereka mengulangi penggunaan ganja rekreatif di sejumah negara Asia, terutama yang memasukkan ganja ke dalam kuliler sehari hari. India mengunakan Bhang- campuran gilingan biji dan daun ganja dengan air, atau dengan  yogurt, ataupun dicampur dengan berbagai rempah. 

Sedangkan di Thaiand, juga mempunyai nama yang sama, yakni ganja juga, yang juga telah lama digunakan dalam berbagai makanan dan minuman, Penggunaan ganja di Thailand meledak pada tahun tujuhpuluhan ketika parang Amerika Serikat (AS) - Vietnam. Saat itu Thailand menyediakan pangkalan militernya untuk AS. 

Walaupun tanaman itu dilarang, penggunaan yang meluas di kalangan serdadu AS membuat ganja menjadi komoditi yang sangat laris diperdagangkan.  

Ketimbang berguru ke India, Thailand, atau Aceh, para Chef di Eropa dan AS memasukkan ganja dalam menu mereka dengan menggunakan tehnologi ekstraksi ganja. Paling kurang ada dua jenis ganja konsentrat yang dikenal luas penggunaanya dalam kuliner AS dan Eropa.  

Jenis pertama adalah Cannabidiol (CBD) dengan kadar konsentrat yang rendah -kandungan 0,3 persen kandungan aktif dalam bentuk gel. minyak, atau konsentrat.  Karena CBD tidak mempunyai konsentrasi tinggi, jenis ini tidak menghadirkan sensasi tinggi bagi penggunannya.

Jenis kedua adalah tetrahydrocannabinol (THC), ekstrak dengan konsentrasi tinggi antara 40-90 persen, seringkali dalam bentuk minyak, konsentrat, atau kapsul. Sekalipun CBD dan THC mempunyai struktur molekul yang sama yaitu 21 atom karbon, 30 atom hidrogen, dan 2 atom oksigen, namun karena susunan yang berbeda, membuat pelepasan neurotransmitter di otak menjadi berbeda. 

Dipastikan THC membuat  penggunanya mempunyai “rasa euphoria” yang sangat tidak biasa. Semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi pula euphorianya. 

Hari ini roti gurih Croissant bermuat CBD dapat dibeli di London dengan harga 7 pound, sementara di Colorado ada donat yang juga memakai CBD. Hanya Sebentar menggunakan CBD, pizza beku di AS yang dimiliki Stoned Oven Gourmet sudah mengalihkan penggunaan CBD ke THC dengan kandungan 250 mg untuk setiap unit. 

Pizza ini dijual luas dibanyak kota AS, New York, San Fransisco, Detroit, dan dibbanyak kota lainnya. Seorang blogger makanan terkenal secara berkelakar namun benar, menganjurkan kepada pembeli pizza ganja itu untuk tidak menyantap sekaligus. Resikonya bagi yang belum biasa, bisa teler tanpa ampun.

Cafe dan restoran yang menggunakan ganja, bahkan menulis ganja sebagai bagian merek dagang akan terus tumbuh di masa depan, terutama di AS,dan  berapa kota di negara bagian AS. 

Walaupun hari ini penggunaan THC  masih belum masuk ke jenis makanan berat seperti daging dan ikan, tapi dapat dipastikan kreativitas kapitalis makanan tak akan pernah berhenti. 

Ingat saja Italia atau AS yang tak pernah menanam kopi, akan tetapi di negeri itu pula terkenal sejumlah minuman kopi yang menjadi rujukan dunia. Sebut saja   Espresso, Latte, atau Capucino, hasil kreativitas Italia yang kini menjadi milik global. Atau lihat saja Americano, kreasi Amerika, dan bahkan turkish coffee- kopi Turki. Padahal AS atau Turki punya tanaman kopi.

Kraetivitas kapitalis makanan bahkan mampu “memaksa” masyarakat global untuk menyukai tidak hanya berbagai resturan fast food, tetapi juga minuman kopi racikan mereka sendiri. Perhatikan saja bagaimana Starbuck memaksa anak muda global minum kopi mereka, dengan berbagai racikan dan pelayanan yang unik. Dan itu kemudian menjadi bagian dari gaya hidup tersendiri.

Mungkinkah ganja yang kini telah mulai menjadi menu kuliner tahap awal di berbagai tempat di AS dan Eropa juga akan menjadi gaya hidup global di masa depan. Konsumerisme tak pernah mengenal agama dan wilayah.

Konsumersime adalah ibu sekaligus anak kandung kapitalis yang tak pernah berhenti berpikir tentang laba, innovasi, dan kreativitas selama duapuluh empat, jam, bahkan besok akan kiamat. 

Aceh mungkin diam-diam harus berpikir bagaimana kuah beulangong yang dimodernisir dengan THC dapat go nasional dan bahkan internasional. Itu bukan hal yang tak mungkin. Lihatlah mie Aceh dan kopi sanger gayo yang dulunya sepi, kini ditemui di banyak kota di Indonesia. 

Tidak ada yang tak mungkin. Lambat atau cepat ganja akan dilegalisir dengan pengaturan yang tak mudah disalahgunakan. Mudah-mudahan warisan Warung Singgahan Ulee kareng dapat menjadi bagian dari gaya hidup global di masa depan.

| Penulis adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.