Menuju Tahun Politik

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

KALENDER 2022 sudah berakhir dan turun dari dinding. Setiap peristiwa pergantian tahun selalu diwarnai dengan sejumpun harapan. Paling sering diidamkan adalah hidup lebih baik dari tahun sebelumnya.

Hal ini berulang terus-menerus dari waktu ke waktu. Harapan yang didambakan setiap insan untuk hidup sukses, termasuk mengharapkan usia yang panjang.

Sama halnya tahun yang akan pergi, tidak semua hal dikerjakan atau dituntaskan. Pasti menyisakan pekerjaan atau agenda yang terbawa hingga menyeberang ke tahun berikutnya.

Pekerjaan yang tersisa itulah yang dijadikan sebagai ruang dan waktu untuk direnungkan sekaligus dijadikan pembelajaran.

Tahun 2023 tinggal menghitung hari. Situasi ini diprediksi banyak pihak bakal lebih banyak menyedot energi bangsa bersamaan dengan proses tahapan pemilu legislatif dan presiden yang dijadwalkan Februari 2024.

Ekskalasi politik diprediksi bakal memanas pada situasi menjelang pesta demokrasi nasional lima tahunan tersebut. Apalagi KPU telah menetapkan 18 partai politik nasional sebagai peserta pemilu.

Para caleg berjibaku menarik simpati rakyat melalui sosialisasi dan pendekatan terhadap kelompok masyarakat yang dinilai berpengaruh untuk meningkatkan elektabilitas.

Pengamat Politik, Adi Prayitno menyarankan kepada figur yang mau maju agar lebih banyak melakukan kunjungan atau berdialog dengan masyarakat. Safari politik seperti ini dinilai tepat untuk menaikkan elektabilitas.

Tentang calon presiden dan calon wakil presiden, sejauh ini baru satu figur yang telah diumumkan ke publik. Sementara figur lain masih menunggu kongsi politik atau koalisi partai politik agar memenuhi syarat 20 persen sebagaimana disyaratkan undang-undang.

Dalam konteks syarat mengusung calon, terdapat tiga partai politik yakni Demokrat, PKS dan Nasdem yang telah menyatakan berkoalisi dan sepakat mengusung Anies Rasyid Baswedan.

Pada titik ini, suasana mulai memanas dengan isu pergantian menteri utusan Nasdem di kabinet yang tentunya tidak terlepas dari keputusan Nasdem yang deklarasikan Anies Baswedan di pengujung jabatanya karena Nasdem melakukan "Taruhan Politik".

Apalagi dua partai politik yang ikut menyatakan dukungan ke Anis Baswedan belum menemukan konsensus di internal yang tentu ada hukum penawaran dan permintaan dalam keputusan politik.

Gonjang-ganjing di luar sana (masyarakat) kian kencang ketika Anis Baswedan batal dideklarasikan pada November lalu. Fakta ini membangun opini seakan terdapat komunikasi dan hubungan yang tidak harmonis di antara partai pengusung.

Ibarat memukul di ruang yang kosong, meski Anies Baswedan rutin bersosialisasi ke sejumlah daerah yang dimotori oleh elite Nasdem yang harapannya bisa mendapatkan simbiosis mutualiasme antara Anies dan Nasdem, namun arah koalisi hingga kini belum jelas atau masih menunggu waktu.

Wallahu a'lam.

Joko Widodo sebagai presiden telah menunjukkan signal dukungan ke beberapa figur capres di beberapa momentum saat hadir di acara partai politik dan kenegaraan. Namun belum sejalan keinginan Joko Widodo dengan PDIP yang kemungkinan besar akan mengusung Puan Maharani sebagai calon presiden.

Masyarakat menunggu, apakah Jokowi akan mengikuti arus kekuasaan ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai petugas partai atau Jokowi menunjukkan kekuasaannya sebagai presiden mendorong figur lain yang secara emosional menjadi kader ideoligis Jokowi dan telah disiapkan partai pengusung dan logistiknya, maka akan tejadi perang "Relasi Kuasa" yang akan mentukan pemenangnya.

Isu lain yang ikut meruncing tensi politik memanas yakni, Anies yang juga mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut diterpa isu politik identitas. Kelompok yang tidak menyukainya, menjadikan pilkada DKI 2017 sebagai referensi, lantas mengembuskan isu menggelikan tersebut ke publik yang belum tentu benar.

Berkaca pada pemilu sebelumnya, isu SARA sebenarnya sulit dihindari. Demi meraih simpati rakyat, acapkali para elite partai menggunakan politik identitas. Namun seberapa kuat pengaruhnya terhadap konstituen, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menegaskan isu politik identitas sudah tidak relevan untuk pemilu presiden dan wakil presiden pada 2024, karena literasi masyarakat tentang berita bohong atau hoaks sudah membaik.

Dalam situasi politik yang carut marut dengan isu tersebut, kita berharap pesta demokrasi tetap kondusif dan tetap pada koridor hukum yang berlaku. Kedewasaan berdemokrasi serta edukasi dari elite-elite partai diharapkan mampu meredam konflik yang bisa saja terjadi meski kita tidak mengharapkannya.

Surya pagi Tahun 2023 tidak lama lagi menampakkan dirinya semoga perdebatan politik dan perang strategi untuk meraih kemenangan politik "Relasi Kuasa" tidak membuat perpecahan anak bangsa sehingga terjaga kedamaian di tengah pesta lima tahunan yang berulang sebagai kedewasaan berdemokrasi adalah hal yang biasa dalam pergantian pemimpin bangsa. 

| Penulis adalah bekas ketua DPP KNPI.