Menutup Luka Sumur Tua

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

LUKA yang diderita fisik dan psikologis para korban ledakan sumur minyak dan gas di Aceh Timur, Ramadan lalu, masih membekas. Namun hingga saat ini, tidak terlihat keseriusan pemerintah dalam mengantisipasi ledakan yang sama. Padahal, jumlah sumur sejenis di Aceh tergolong banyak.

Ada banyak titik lemah yang seharusnya diperbaiki seiring dengan terus berulangnya kasus-kasus ledakan di sumur tua. Satu di antaranya adalah dengan menggandeng perusahaan eksplorasi migas untuk mengungkapkan record logistic data. 

Data yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan itu lantas dibuat menjadi peta besar bencana sebagai upaya mitigasi. Terutama terhadap sumur-sumur tua yang berpotensi besar meledak. Aceh Timur memiliki banyak sumur-sumur tua yang tersambung. Jika satu meledak, lubang lain juga berpotensi meledak. 

Berdasarkan peta tersebut, seluruh pemangku kepentingan memahami titik rawan dan solusi konkret agar bencana itu tidak menimbulkan korban jiwa. Termasuk mencegah penambangan di kawasan perbukitan yang rawan longsor. 

Namun hingga saat ini tidak terlihat upaya menjadikan penambangan minyak dan gas oleh masyarakat ini sesuatu yang penting. Penanganan yang dilakukan mirip pemadam kebakaran. Tidak ada rencana terstruktur dan terukur meski sektor ini menghidupi banyak orang.

Dalam insiden yang terjadi di Gampong Mata Ie, Kecamatan Ranto, Aceh Timur, pada Sabtu, 19 Maret 2022, sejumlah penambang minyak meninggal dunia dan mengalami luka bakar hebat. Insiden ini persis seperti yang terjadi pada 2018. Saat itu, ledakan di sumur minyak menyebabkan 21 orang tewas dan 35 orang mengalami luka bakar. 

Hal ini terjadi akibat penambang tidak memiliki peralatan yang cukup untuk menampung minyak yang menyembur bersama gas dari lubang yang mereka gali. Akibatnya minyak mentah itu meluber dan menggenangi kawasan itu melalui selokan dan mengalir ke lokasi yang cukup jauh dari titik sumur. Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya. Dalam radius sekitar 20 sampai 30 meter, percikan api sedikit saja dapat mengubah kawasan itu menjadi “neraka”. 

Di sinilah seharusnya pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten, mengambil peran. Seharusnya mendorong masyarakat untuk membentuk koperasi yang tidak hanya memberikan edukasi kepada setiap penambang yang menjadi anggotanya. Koperasi ini juga menyediakan drum minyak untuk menampung hasil penambangan dan sejumlah kelengkapan lain yang dibutuhkan para penambang agar terpenuhi standar keamanan mereka. 

Yang terjadi, selama ini, di Aceh Timur dan lokasi penambangan minyak yang diusahakan oleh rakyat adalah mereka, para penambang, mempelajari teknik dan hal-hal lain secara otodidak. Padahal di kawasan ini terdapat perusahaan besar yang berpengalaman. 

Badan Pengelola Migas Aceh dan pemerintah seharusnya menggandeng perusahaan yang beroperasi di Aceh Timur untuk mengedukasi masyarakat. Memasang rambu-rambu dan menandai setiap sumur yang ada. Bahkan seharusnya di kawasan permukiman yang dekat dengan sumur minyak, dipasang alarm yang mendeteksi gas dan berbunyi saat kandungan gas tersebut berada dalam ambang batas membahayakan. 

Tentu saja ini membutuhkan dana. Namun pemerintah seharusnya cukup lihai untuk mengetahui bahwa mereka berhak mendorong penggunaan dana CSR perusahaan sebesar 2 persen untuk proses edukasi dan mitigasi tersebut.  

Satu hal lain yang tidak dilakukan pemerintah adalah menuntut pertanggungjawaban perusahaan untuk menutup lubang tambang setelah mengeksploitasi sumber daya dari perut bumi Aceh. Selama ini, sumur-sumur tua itu dibiarkan menganga. Seharusnya setiap sumber-sumber migas itu ditutup. Tidak boleh ditinggalkan begitu saja. 

Lubang-lubang yang menjadi celah terjadinya kecelakaan kerja harus ditutup. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang turut menikmati keuntungan dari putaran uang di masyarakat dari proses penambangan ilegal ini. 

| Penulis adalah dosen teknik pertambangan Universitas Syiah Kuala.