Meraba Pangkal Jokowi Gagal

Ilustrasi
Ilustrasi

DAPAT dipastikan bahwa perbankan di Indonesia tidak memiliki visi yang sejalan dengan komitmen pemerintah. Perbankan Indonesia layaknya lintah darat yang berorientasi bunga yang menghisap dan mencekik.

Lebih dari itu tidak ada visi perbankkan dalam masalah masalah lingkungan hidup dan masalah keadilan sosial. Lantas bagaimana mungkin pemerintah dapat meraih komitmen besar di bidang lingkungan hidup tanpa melibatkan masyarakat dan dunia usaha?

Untuk terlibat dalam urusan itu, masyarakat dan dunia usaha membutuhkan dukungan perbankan. Tanpa dukungan itu pula pemerintah tak bisa meraih konsensus climate change dengan alasan yang sangat sederhana: sumber pembiayaan untuk meraihnya tidak disediakan oleh perbankkan.

Dunia usaha, misalnya, takkan bisa terlibat dalam urusan penurunan emisi karena isu perubahan iklim ini didesain sebagai isu yang berbiaya mahal oleh perbankan. Akibatnya pemerintah jalan sendiri.

Para bankir hanya mencari celah untuk mengambil keuntungan secara sepihak dari kebijakan pemerintah. Langkah-langkah yang diambil tidak dalam rangka mendukung visi besar pemerintah. Seperti pepatah kesempatan dalam kesempitan.

Idiom yang digunakan persis istilah dalam dunia tukang kredit: Anda butuh uang? Bank menyediakan. Tapi uang itu hanya akan mencekik pengguna. Sistem tidak dibuat untuk membantu masyarakat dan dunia usaha berkembang alih-alih menjerat leher. 

Bayangkan sebagian besar kredit perbankan Indonesia hanya dialokasikan bagi tambang energi kotor dan pembangkit energi fosil. Tidak ada dukungan  perbankkan membiayai energi bersih. Sementara BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi tidak punya modal, tidak punya uang, dan usahanya pun berjalan tertatih-tatih.

Akibatnya tidak ada satu pun usaha di bidang energi yang memenuhi aspek studi kelayakan, yang menguntungkan secara ekonomi dalam berbagai skala usaha., yang dapat dikerjakan oleh masayakat, koperasi, UMKM, dan juga oleh BUMN. Hanya usaha energi kotor yang layak, karena memang sudah stabil. 

Konglomerasi energi kotor kian kaya karena mendapatkan karpet merah dari perbankan. Mereka mendapatkan kemudahan fasilitas kredit, dukungan perbankan dan dukungan keuangan lainnya.

Padahal lima tahun lebih sudah waktu yang dilalui Presiden Joko Widodo untuk memenuhi komitmennya pada perjanjian internasional dalam bidang lingkungan hidup. Presiden menandatangani COP 21 paris di hadapan pemimpin dunia. Perjanjian ini juga telah disyahkan menjadi UU melalui DPR. 

Ini adalah komitmen bersama internasional untuk menurunkan emisi karbon, yang merupakan penyebab kerusakan lingkungan nomor satu saat ini. Komitmen baik dalam rangka memperbaiki kualitas hidup.

Pertanyaan besarnya, mengapa Presiden Jokowi tidak bisa mengatur bank? Sebenarnya perbankan ini tunduk pada siapa?

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.