Meraup Cuan di Kebun Vertikal

Memetik buah di kebun Urban Farming KamiKITA. Foto: Irfan Habibi.
Memetik buah di kebun Urban Farming KamiKITA. Foto: Irfan Habibi.

Hamparan kebun itu di kelilingi rumah-rumah warga, letaknya di salah satu sudut Banda Aceh. Kebun itu tampak asri. Sepanjang mata memandang, seperti melihat karpet hijau. Sebagian warga memetik hasil panen saat seorang bocah mendayung sepeda dengan raut wajah ceria mengelilingi kebun. 


Kebun ini ada karena pandemi Covid-19. Sekolompok warga yang tergabung dalam Yayasan Sumber Utama berinisiatif membuka lahan perkebunan dengan konsep urban farming untuk menjawab persoalan yang ada. Konsep itu, dinilai tepat digunakan karena berada di perkotaan. 

“Di tengah kondisi pandemi Covid-19, kami dan kawan-kawan berpikir bagaimana cara untuk membuat tempat dengan basis ramah lingkungan dan bisa dimanfaatkan untuk mengatasi krisis pangan di tengah pandemi,” kata Koordinator Kamikita, Henny Cahyanti, kepada Kantor Berita RMOLAceh, Ahad, 7 Februari 2021.

Perkebunan itu memanfaatkan bekas lahan pabrik seluas 50x30 meter. Bekas lahan itu, disewakan kepada salah satu warga di sana dengan durasi waktu enam tahun. Mereka menamai kebun itu “KamiKITA”. “Kami yang menanam, kita yang memakannya,” kata Henny.

Warga di daerah itu juga antusias merawat tanaman. Untuk mengatasi keterbatasan lahan di kawasan perkotaan, warga menggunakan pipa paralon yang disusun tinggi untuk bertanam. Sesuai konsep, perkebunan itu digagas tanpa menggunakan pestisida atau bahan kimia lain. Warga memanfaatkan bahan-bahan organik, hidroponik organik dan aquaponik organik, sebagai pupuk. 

Selain dengan keindahannya, pengunjung bisa merasakan sensasi berkebun dan mendapatkan keutungan alias cuan. Pengunjung bebas memetik buah siap panen dengan satu syarat, membeli dengan uang atau menggunakan barang bekas dan limbah rumah tangga.

“Tujuannya itu, untuk mengurangi sampah. Iya seperti barter, barang bekas atau sampah diganti dengan sayur,” kata Henny.

Tepat di tengah kebun itu, didirikan papan berukuran 1x1 meter. Di sini terpampang daftar harga sayuran jika ditukar dengan rupiah. Pengunjung diberikan keranjang untuk memetik apa yang diinginkan, layaknya di supermarket. Harganya,kata Henny, bervariasi. Mulai Rp 1.500 hingga Rp 7.000 per ons.

Sebelumnya mencapai titik ini, kata Henny, lahan itu dipenuhi semak belukar. Ketika itu, ada banyak pohon kecil yang harus diratakan untuk dijadikan lahan. “Agar tak sia-sia, tanaman itu kami daur ulang menjadi pupuk kompos,” kata Henny. 

Oleh karena itu, Henny berinisiatif untuk menampung limbah rumah tangga yang ada di kawasan tersebut. Sampah itu akan diolah menjadi kompos. Sebagai ganti sampah yang mereka bawa, warga akan mendapatkan voucher untuk berbelanja sayur di KamiKITA.

Henny menjelaskan tidak semua sampah rumah tangga dapat diolah menjadi pupuk. Karena, kata Henny, pupuk kompos itu tidak boleh ada campuran cabai, bawang, dan sitrun. Dengan upaya tersebut dapat mengurangi sampah di sekitaran tempat tersebut. Jika memungkinkan, kata Henny, mungkin bisa memanfaatkan sampah di Banda Aceh.