SEBELUM menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadan, masyarakat Aceh saban tahun selalu mengawalinya dengan sebuah tradisi. Tradisi itu sudah turun menurun sejak ratusan tahun lalu.
- Semarakkan Ramadan, Pikabas Gelar Aksi Sosial
- Mauza Dilara Terima Bantuan dari Trabas dan Baskom
- Kisah Tibet, Hidup di Pengasingan dan Tak Miliki Identitas Negara
Baca Juga
Meugang atau Mak-meugang, merupakan tradisi yang selalu terdengar. Baik pada masyarakat kategori usia dewasa hingga anak-anak. Semuanya bersuka ria dalam memperingati momentum ini.
Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, menjelaskan tradisi meugang sudah berlangsung sejak 400 tahun lalu. Tradisi ini berawal dari kesultanan Aceh pada saat itu.
"Dalam literatur buku ‘Singa Aceh’ dijelaskan bahwa sultan sangat mencintai rakyatnya baik fakir miskin ataupun kaum dhuafa," kata Cek Midi kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 21 Maret 2023.
Cek Midi mengatakan, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Waktu itu, jauh hari sebelum meugang, kepala desa atau keuchik sudah menerima surat perintah dari sultan untuk mendata warga kurang mampu di desanya.
Selanjutnya sultan melihat semua data yang telah dikumpulkan. Lalu menjelang meugang akan diberikan uang kepada warga untuk membeli daging.
Cek Midi menjelaskan, orang yang tidak mampu masa itu menjadi tanggung jawab sultan. Dia kemudian mengeluarkan satu qanun (hukum) yang mengatur tentang pelaksanaan meugang.
Menurut Cek Midi, qanun yang dikeluarkan oleh sultan kala itu diberi nama ‘Meukuta Alam’. Pada Bab II pasal 47 qanun tersebut disebutkan, Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari Meugang. Lalu dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, dan orang berkebutuhan khusus.
Lalu Pada tiap-tiap satu orang diberikan daging, uang, emas dan dapat kain enam hasta kepada kepala desa masing-masing gampong didaerahnya untuk diserahkan kepada warga terpilih.
"Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi pertolonganya kepada rakyatnya yang selalu dicintai," ujar Pahlawan Manuskrip Kuno Aceh asal Pidie itu.
Menurut Cek Midi, hal demikian begitu sangat diatur. Karena Aceh kala itu memiliki kelebihan, kemakmuran, dan hasil alam yang sangat berlimpah. Jadi artinya menjelang bulan puasa, Sultan ingin rakyatnya tidak susah dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Hingga kini Cek Midi menyebutkan, tradisi meugang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi warga Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadhan, di bulan penuh kemuliaan warga saling memasak bersama, saling berbagi dengan sanak saudara serta tetangga.
“Tradisi ini juga bagian dari kegembiraan masyarakat Aceh dalam menyambut ibadah puasa Ramadhan. Bulan suci bagi warga Aceh punya arti yang lebih luas. Bahkan di hari meugang ini semua orang statusnya sama, baik kaya maupun miskin. Mereka semua membeli daging untuk dimakan bersama keluarga,” sebutnya.
- Komisi III DPR RI Minta Polisi Tangkap Pembakar Balai Muhammadiyah di Samalanga Aceh
- Banleg DPR Aceh: Tak Direvisi, Tapi Dikaji Lebih Dalam Qanun LKS
- Seleksi Pornas XIV Korpri Tingkat Nasional se-Aceh Dibuka