Merawat Warisan Mendulang Wisatawan

Rumoh Adat Aceh di Desa Wisata Lubok Sukon. Foto: RMOLAceh.
Rumoh Adat Aceh di Desa Wisata Lubok Sukon. Foto: RMOLAceh.

Sejak 15 Oktober 2012, Gampong Lubok Sukon ditahbiskan menjadi desa wisata. Keasrian, kearifan lokal, budaya menjadi jualan utama masyarakat untuk mendatangkan wisatawan.

TULISAN yang melintang di gapura setinggi pohon kelapa itu bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wisata Lubuk Sukon”. Beberapa langkah kemudian deretan Rumoh Aceh seperti menyambut kedatangan siapapun yang menyambangi desa tersebut.

Grapura Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

“Semua itu rumah zaman (bangunan lama),” kata Fahri, seorang pramuwisata di Gampong Lubok Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, kepada Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu,11 Maret 2023.

Rumoh Aceh dengan mudah dikenali dari ciri yang khas. Enam tiang setinggi orang dewasa, lantai dan dinding terbuat dari kayu. Bagian atap, berbentuk segitiga dari ayaman rumbia. Di setiap sisi dinding terdapat jendela besar yang membuat rumah itu tetap adem. Fahri mengatakan rata-rata rumah di gampong (desa) itu berusia lebih dari 50 tahun.

Masyarakat gampong itu mempertahankan bentuk rumah yang diwariskan secara turun temurun itu. Ada beberapa rumah yang disematkan pendingin ruangan. Namun penambahan sejumlah teknologi modern itu tidak mengubah bentuk asli bangunan.

Salah satu Rumoh Adat Aceh di Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

Keaslian bentuk rumah itu menjadi keistimewaan. Hal ini pula yang menjadi magnet gampong untuk mendatangkan wisatawan. Fahri mengatakan sebagian besar wisatawan terkesan dengan keaslian dan keasrian suasana di gampong itu.

Tampak salah satu meunasah di kawasan Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

Di ujung jalan masuk gampong, sekitar 200 meter dari gapura selamat datang, terdapat sebuah meunasah yang dilengkapi dengan taman. Sekilas, semua terlihat seperti rumah dalam serial kartun Upin dan Ipin. “Bulan ini, sudah lebih 250 orang yang berkunjung ke sini,” ujar Fahri.

Di Lubok Sukon, kata Fahri, terdapat rumah peninggalan sosok yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Satu di antaranya adalah rumah milik Muzakkir Walad, bekas Gubernur Aceh Muzakkir Walad. Di kampung ini juga berdiri milik Cek Mad Rahmany, bekas duta besar dan diplomat.

Rumoh Adat Aceh di Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar, peninggalan bekas duta besar dan diplomat RI, Cek Mad. Foto: RMOLAceh.

Fahri mengatakan kehadiran rumah peninggalan tokoh dan Rumoh Aceh yang masih asri dibuat satu konsep wisata yang disebut “Wisata We-wet”. Wet-wet adalah Bahasa Aceh yang bermakna jalan-jalan. Selama berada di Lubok Sukon, wisatawan diajak berkeliling kampung dengan berjalan kaki.

Selama perjalanan, wisatawan dapat menikmati makan siang dengan menu khas Aceh Besar serta sejumlah jajanan legendaris semisal bluet dan timpan, dan lemang.

Wisatawan yang datang ke kampung ini berasal dari berbagai daerah dan latar belakang. Jarak tempuh yang relatif dekat--gampong itu hanya sekitar 15 kilometer dari Banda Aceh--membuat anak-anak muda, mahasiswa, siswa-siswi, anggota komunitas film, dan wisatawan dari luar daerah mendatangi desa wisata itu.

Saat ini sejumlah agen perjalanan membuka paket wisata ke Lubok Sukon yang tidak menguras isi kantong. Mereka bisa memilih paket bermalam di kampung itu atau hanya kunjungan beberapa jam saja. Bagi wisatawan yang ingin bermalam dan menikmati keheningan desa pada malam hari, tersedia homestay dengan harga terjangkau.

Fahri mengatakan pelonggaran aturan perjalan, usai pandemi Covid-19, menjadi momentum masyarakat di gampong itu berbenah. Mereka mencitrakan Lubok Sukon sebagai desa dengan konsep modern namun tak menghilangkan kekhasan daerah setempat.

Promosi dilakukan lewat media massa maupun media sosial, bekerja sama dengan berbagai pihak dan merancang sejumlah paket wisata berbasis potensi. “Dan kami sepakat bahwa, identitas Lubuk Sukon adalah desa wisata berbasis kebudayaan atau desa tradisional Aceh,” ujar Fajri.

Jembatan yang harus dilewati menuju Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

Sesuai konsep tersebut, para pengiat wisata di gampong itu menjadikan kenduri blang (kenduri sawah), maulid, gotong royong, atraksi jeungki, atraksi permainan tradisional dan berkunjung ke sawah sebagai tontonan.

Di samping itu, masyarakat desa itu juga sepakat untuk mempertahankan ciri khas Lubok Sukon sebagai desa wisata agar tak dimakan zaman. Untuk mendukung hal ini, kata Fahri, pihaknya bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) melatih muda-mudi untuk mebuat produk kerajinan dari tempurung kelapa.

“Potensi ekonomi terus diupayakan dan masyarakat diberdayakan untuk mendukung kunjungan wisata ke gampong itu,” kata Fajri.

Duta Wisata Aceh Besar, Hasriami Amanda, adalah salah satu yang aktif mempromosikan wisata Lubok Sukon. Hal ini dia lakukan bersama dengan duta wisata lain di daerah setempat. Mereka berupaya menjangkau lebih banyak orang lewat media sosial untuk datang ke kampung itu. Mereka juga memberdayakan rekan seumuran untuk menjadi duta wisata gampong.

“Menggerakkan kampung wisata perlu dukungan semua pihak. Pandangan yang sama dan misi yang sama. Lewat pariwisata, kita bisa mendapatkan keuntungan finansial tanpa merusak alam,” kata Manda, sapaan Hasriami.

Meunasah Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

Kepala Dinas Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, hakkul yakin Lubok Sukon dapat menjadi salah satu penopang pariwisata Aceh. Aceh, kata dia, sangat cocok untuk pengembangan ekowisata ini. Keindahan alam, adat istiadat, budaya, kuliner, dan keramahtamahan, adalah satu kekuatan besar yang perlu dikelola untuk mendatangkan wisatawan ke Aceh.

Untuk itu, Almuniza berharap kepada pegiat ekowisata untuk berperan dalam proses tersebut. Kemudian ia meminta agar semua komunitas pariwisata menginventarisir persoalan di tiap lokasi ekowisata untuk memetakan potensi yang bakal dikembangkan.

“Semuanya harus berkolaborasi, inovasi dan beradaptasi. Tanpa ketiga hal itu, kita tidak bakal bisa mengemas produk wisata Aceh sebagai sesuatu yang bernilai tinggi,” kata Almuniza. 

Monumen Desa Wisata Lubok Sukon, Aceh Besar. Foto: RMOLAceh.

Pegiat ekowisata dari Gudang Petualang, ED Kesuma Darmi, mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata harus memiliki program jangka panjang untuk mengukur perkembangan. Dia juga menyinggung urgensi kecakapan pemandu wisata dalam menyukseskan pembangunan pariwisata.

Menurut Kusuma, sertifikasi pemandu wisata petualang masih sangat minim di Aceh. Padahal, tanpa pemandu wisata andal, daerah kesulitan menjual potensi wisata petualangan di Tanah Rencong.

“Ini berbicara tentang risiko-risiko yang bisa saja terjadi terhadap wisatawan. Harus ada standar yang membuat wisatawan nyaman dan mereka bepergian dengan risiko yang minim,” kata Kesuma.