Michael Octaviano, Sang Pejuang Kemanusiaan dari Kota Metropolitan

Michael Octsviano saat menghibur anak-anak penyintas thalasemia yang sedang melakukan tranfusi darah di RSUZA Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.
Michael Octsviano saat menghibur anak-anak penyintas thalasemia yang sedang melakukan tranfusi darah di RSUZA Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

RUMAH itu dipenuhi dengan berbagai masyarakat rujukan daerah untuk berobat, faktor ekonomi mengharuskan mereka berbulan bahkan menahun tinggal di sana, dari kejauhan seseorang datang. Dia membawa turun sembako lalu menghampiri pengurus rumah.


“Berapa jumlah pasien? darah buat yang operasi kemarin sudah terpenuhi semua?” kata Michael Octaviano, kemudian masuk menghampiri pasien. Pria kelahiran Medan, 10 Oktober 1980 ini adalah lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri tahun 2003. 

Tahun 2004 silam paska tsunami, saat dunia menolong Aceh untuk bangkit, Michael mulai berfikir bagaimana cara membalas kebaikan itu. Dia hakul yakin, dengan melahirkan lembaga non profit yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, bergerak menyediakan fasilitas rumah singgah bagi pasien yang berobat di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA).

Pada 26 Desember 2010 Blood For Life Foundation atau BFLF lembaga yang murni lahir dari masyarakat Aceh lahir, dengan cita-cita dari Aceh untuk dunia. 

“Kita sengaja memilih namanya dalam bahasa Inggris, biar bisa go internasional. Kami berharap, dulu ketika tsunami, Aceh banyak dibantu oleh provinsi bahkan negara luar, kedepannya ada sebuah lembaga dari Aceh yang bisa membantu seluruh lembaga di Indonesia dan membantu bencana di seluruh dunia,” kata lelaki yang kini dinobatkan sebagai Ikon Prestasi Pancasila kepada Kantor Berita RMOLAceh, Ahad, 18 Desember 2022.

Saat tetangga akrab Michael meninggal dunia karena kurangnya stok darah dan tidak mendapatkan darah yang diperlukan tepat waktu, kejadian itu menjadi memori tak terlupakan.

Kejadian tersebut menjadi motivasi paling besar bagi Michael untuk melakukan aktivitas aktivitas sosial, bukan kekayaan material maupun ketenaran. Pada saat dia di Aceh, dia menyaksikan bagaimana para pendonor tidak dihargai, sudah bersusah payah mendonor tetapi tidak dilayani dengan baik.

Michael Octaviano saat melakukan kegiatan donor darah, Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

“Beberapa tahun silam, disaat yang sama dia menyadari bahwa banyak pasien yang membutuhkan darah namun harus terkendala oleh kurangnya stok darah yang dimiliki oleh rumah sakit rumah sakit di Aceh,” ujarnya. 

Melalui BFLF, Michael percaya stok darah selalu dibutuhkan, Saat itu ia yang sedang bekerja sebagai Kasubbag Umum dan Kepegawaian di Bappeda Aceh, Dia mengajak sekitar 100 pegawai di bawahnya. Hampir seluruh pegawai Bappeda Aceh yang berjumlah 250 orang, ikut kegiatan sosial tersebut.

“Membantu pemenuhan darah dimulai, ketika seorang tetangga saya di Lamgugob pada 2010 meninggal dunia, karena tak mendapatkan darah. Saya pikir, galang darah dari masyarakat untuk masyarakat bisa membantu Aceh bangkit,” kata dia. 

Melalui bantuan dari berbagai masyarakat, BFLF berkembang dan diterima baik, Michael kemudian kembali melebarkan sayap kemanusiaan dengan membuat rumah singgah yang bisa menampung pasien kurang mampu penderita sakit seumur hidup. 

“Saat itu saya menjemput istri pulang kerja dari rumah sakit, di jalan pulang kami bertemu dengan keluarga yang tidur di emperan rumah sakit. Mereka tidak punya biaya untuk bolak balik,” kenang Michael. 

Kejadian malam itu membuatnya membulatkan tekad membangun rumah singgah gratis bagi seluruh masyarakat Aceh. Dengan dukungan dari istri rumah singgah masih berdiri dan telah menampung sebanyak seribuan lebih pasien. 

“Abang mau bikin rumah singgah, itu yang saya katakan pada istri. Kemudian kami mulai mencari rumah, sudah beberapa kali pindah karena kita belum bisa membeli secara permanen,” ujarnya. 

Michael Octaviano saat mendengarkan keluhan pendamping pasien bayi penyintas sakit jantung di rumah singgah BFLF pusat, Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

Kini, Rumah Singgah pertama di Aceh yang mulanya hanya bisa menampung puluhan pasien, sudah dapat menampung  1.081 orang.  Menampung bukan hanya pasien, tapi juga keluarga. BFLF menanggung bukan hanya tempat tinggal, tapi sembako, sembako hingga penguatan mental. 

“Mulai tahun 2015, BFLF mulai mengembangkan sayap ke 23 kabupaten atau kota di Provinsi Aceh dan 11 Provinsi di seluruh Indonesia dengan berbagai program sosial lainnya. Pada tahun 2015, BFLF juga menyediakan inkubator portable untuk dipinjamkan bagi bayi prematur karena keterbatasan jumlah inkubator di rumah sakit,” ujarnya.

BFLF juga mulai mendata dan mengorganisasikan para penderita thalasemia di Aceh untuk mendapatkan orang tua asuh darah dan mengorganisasikan gerakan santunan untuk yatim dan dhuafa di Aceh.  

Demi kegiatan kemanusiaan, banyak hal yang Michael harus korbankan terutama waktu dengan keluarga. Desember 2022, yayasan BFLF yang didirikannya genap 12 tahun, dan lembaga satu itu kini sudah memiliki 20 cabang di di 20 kabupaten kota di Aceh. BFLF juga memiliki rumah yatim, yang bertempat di Jakarta Timur jalan Kamaruddin 1, berisi puluhan anak-anak yatim dan anak lapak sampah. 

“Sebagian besar support dana untuk rumah yatim di Jakarta itu dari BFLF Aceh. Kita mau balik ini, jadi seperti sebelum kemerdekaan. Biasa Jakarta yang punya cabang di Aceh, sekarang Aceh yang punya cabang di Jakarta,” sebut dia.

Bukan orang Aceh tapi lebih Aceh dari pada Aceh, layak disandingkan untuk Michael. Sebab Aceh dikenal dengan Syariat Islam. Melalui itu Ia ingin memberikan gambaran bahwa Syariat Islam Aceh tetap memiliki nilai humanis, yaitu orang Aceh punya banyak kebaikan untuk dibagikan kepada siapapun yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Michael percaya bahwa kemanusiaan adalah sebuah nilai universal yang jauh melampaui sekat sosial, budaya, agama dan golongan. Setiap manusia diwajibkan untuk saling menolong tanpa peduli agama, ras, bahasa, golongannya. Karena itu hukum kemanusiaan. 

Dalam wawancaranya dengan Kantor Berita RMOLAceh, Michael menyampaikan "Saya suka melakukan kegiatan kemanusian. Kata Nabi, barang siapa yang berbuat baik kepada orang lain, maka ia sedang berbuat baik pada dirinya sendiri,” ujarnya.

Semangat juang kemanusiaan diturunkan dari Ayahanda Alexander Februari. Seorang pegawai Bank yang aktif sebagai ketua Pemuda Pancasila, IA terkenal dengan lelaki yang suka menolong kaum lemah. Alexander Februari merupakan ayah kandung Michael yang menanamkan jiwa sosial kemanusiaan padanya.

“Pesan yang paling saya ingat, dan masih terngiang sampai sekarang cuma satu. Kata Bapak saya, Jadilah orang hebat untuk bantu orang lain. Kalau hebat sendiri ya biasa saja,” kata Michael. 

Kini, amalan hidup yang diwasiatkan ayahanda telah mengantarkan Michael menjadi sosok ASN inspiratif tahun 2020, Pada tahun 2017, Michael Chaniago dianugerahi CNN Indonesian Heroes oleh stasiun televisi CNN, pada tahun 2021 ia kembali dianugerahi penghargaan dari media di Aceh, hingga menjadi ikon prestasi pancasila 2021.