Miskin Jiwa, Dampak Ketergantungan Dana Desa

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

PROGRAM Dana Desa (DD) merupakan salah satu program unggulan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia untuk percepatan pengentasan kemiskinan di tanah air. Melalui program yang telah dilaksanakan sejak tahun 2015, pemerintah Indonesia secara khusus mengalokasikan sejumlah dana kepada 74.961 desa di seluruh Indonesia.

Dana tersebut dikelola oleh masing-masing desa sebagai pendapatan, anggaran dan belanja dalam pembangunan desa. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa yang memiliki kewenangan untuk mengelola sumber dayanya sendiri untuk pembangunan desa.   

Selama kurun waktu tujuh sejak pertama kali direalisakan, DD telah mendorong peningkatan yang luar biasa dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Namun, dampaknya terhadap pemberdayaan masyarakat desa dan penanganan dalam pengentasan kemiskinan di desa masih jauh dari harapan. 

Hal ini diakibatkan dari kurangnya perhatian terhadap pengembangan kapabilitas sumber daya manusia dan perberdayaan masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi efektifitas program desa. 

Lebih lanjut, penyaluran dana desa juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, sebagaimana pepatah, “ada gula, ada semut”, besarnya dana yang dikelola, bila tidak diimbangi dengan kemampuan manajerial yang baik dan pengawasan yang ketat, tentu akan mudah terjadi penyelewangan dan korupsi. 

Kasus banyaknya penangkapan kepala desa dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan penyelewangan atau korupsi kerap terjadi dan ini menjadi ancaman serius bagi program tersebut. Terkait dengan masalah ini, dalam banyak kasus, kurangnya keterlibatan warga desa, atau bahkan jika mereka berpartisipasi, ketidakmampuan mereka untuk berkontribusi dalam mendukung kapasitas aparatur pemerintah desa karena lemahnya pemahaman mereka terhadap penggunaan dan kebermanfaatan dana desa.

Di samping itu aparatur desa pun kurang memahami dalam pengelolaan dana desa dengan baik dan tepat sasaran, sehingga telah mengakibatkan implementasi yang kurang efektif, program dan korupsi menjadi tidak terkendali.

Permasalahan yang penulis sebutkan diatas lazim terjadi di Aceh, ditengah guyuran trilliunan rupiah dana desa selama 7 tahun untuk Aceh, permasalahan klasik kemiskinan dan kesenjangan hidup masih belum teratasi, ditambah lagi timbulnya penyakit sosial baru pada warga Aceh. Yaitu miskin jiwa bagi warga yang enggan moven on (beranjak) dari ketegori warga miskin ke warga mampu.

Menurut laporan Kementerian Keuangan, sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2022 total alokasi dana desa yang dikucurkan ke Aceh mencapai Rp.34.48 triliun. Dana desa tersebut disalurkan untuk 23 kabupaten, 289 kecamatan dan 6.497 desa yang tersebar di provinsi Aceh.

Umumnya, dana desa yang telah disalurkan ke seluruh desa di Aceh telah digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan yang skala pencapaian tujuan hanya berjangka waktu sedang, yaitu untuk pemulihan ekonomi nasional, program prioritas daerah, mitigasi penanganan bencana alam dan non-alam sesuai kewenangan desa, serta bantuan langsung tunai dana desa kepada keluarga miskin dan keluarga terdampak COVID-19 di Aceh.

Sejatinya tujuan akhir manfaat dikucurkan dana desa adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan ekonomi seluruh desa di Aceh yaitu untuk meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat desa, mengentaskan kemiskinan di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa, dan memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam pelaksanaan pembangunan desa. Oleh karena itu, pemanfaatan dana desa dapat menjadi angin segar bagi pembangunan desa, sehingga mampu menjadikan desa mandiri dalam melakukan dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan sesuai harapan masyarakat.

Akan tetapi, tujuan-tujuan diatas jauh dari harapan dan belum menyelesaikan berbagai persoalan di desah, seperti masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, stunting, dan masih terdapat desa sangat tertinggal dan tertinggal di Aceh. Berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) provinsi Aceh tahun 2022 masih terdapat 78 desa sangat tertinggal, 1.381 desa tertinggal, 4.028 desa berkembang, 786 desa ketegori maju, sedangkan untuk desa mandiri sebanyak 224 desa.

Program dana desa juga selaras dengan agenda pembangunan global baru yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip dana desa sangat erat kaitannya dalam agenda SDGs yaitu tidak adanya kemiskinan (no poverty – SDGs no. 1) dan penghapusan kelaparan (zero hunger – SDGs no.2), kehidupan sehat dan sejahtera (SDGs 3 - Good Health and Well-Being), Pendidikan yang berkualitas (Education - SDGs no. 4), pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (Decent Work and Economic Growth – SDGs no.8), Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (Industy, Innovations, and Infrastructure – SDGs no.9), dan mengurangi ketimpangan (Reduce Inquality – SDGs no. 10) ini merupakan agenda utama pemerintah Indonesia  dan provinsi Aceh yang harus dicapai menjadi target pada tahun 2030.

Untuk mencapai itu semua, desa/gampong memiliki kewenangan yang besar untuk mewujudkannya, yaitu dengan  pemanfaatan dana desa tepat sasaran, kewewenangan penuh dan signifikan yang dimiliki desa/gampong dalam mengelola dana tersebut, yang tujuannya diperuntukkan mengentaskan kemiskinan berupa distribusi Bantuan Lansung Tunai (BLT) ke setiap keluarga kurang mampu, pembiayaan infrastruktur desa, keagamaan dan pertanian.

Namun realitanya, umumnya kepala desa/keuchik belum mampu memanage (mengelola) dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan warga, bahkan pasca alokasi dana desa, jumlah penduduk miskin belum mampu di entaskan. Mungkin salah satu penyebabnya penyaluran dana desa melalui BLT membuat masyarakat enggan movement (berpindah) dari kategori miskin ke middle class (menengah keatas). Kenyamanan ini menurut saya merupakan penyakit sosial baru melanda warga di pedesaan atau dengan sebutan miskin jiwa.

Miskin Jiwa

Kucuran puluhan triliunan rupiah dana desa ke setiap gampong di Aceh juga menimbulkan problema baru, yaitu munculnya sifat kenyamanan (comfort zone) warga dipedesaan yang enggan movement (berpindah) dari ketegori miskin ke ketogori mampu. Hal ini dikarenakan, masyarakat miskin di pedesaaan yang selama ini sebagai penerima dana desa sudah merasa nyaman dengan manfaat dari program BLT, bahkan selama ini banyak peneriman manfaat tersebut berasal dari kategori warga yang berkecukupan (mapan).

Akibatnya, setiap tahunnya, mereka berharap akan selalu menerima BLT tersebut dan tidak ingin keluar dari zona nyaman (out of comfort zone) atau move forward ke next level (mapan). Sifat ini merupakan penyakit sosial baru yang muncul dari program dana desa dan bisa dikatakan miskin jiwa.

Disamping isu manajerial ditingkat desa/gampong, desa juga berhadapan dengan banyak sekali peraturan-peraturan desa, menurut Tunggoro Widiandaru dari FEB UGM, kurang lebih ada 32 aturan yang harus desa patuhi dan itu sangat memberatkan desa. Mulai dari peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan bersama tiga embaga, Peraturan Menteri dalam Negeri, Peraturan Menteri Keuangan, dan peraturan lainnya seperti peraturan di provinsi dan kabupaten.

Akibat  banyaknya peraturan tersebut, desa sebagai pengelolaan dana desa ambigu menyesuaikan setiap kebijakan dan aktivitas dalam merealisasikan dana tersebut, sehingga desa tidak bisa berkreatif dan leluansa dalam merencanakan program.

Selain itu, temuan dari penelitian Syukur Azmi et,all (2020), alokasi dana desa di Aceh tidak mampu menurunkan angka kemiskinan dan juga jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Tidak efektifnya pelaksanaan dana desa disebabkan oleh faktor salah alokasi, pengelolaan keuangan yang buruk (tidak professional), kurangnya partisipasi masyarakat desa dan rendahnya pengembangan sumber daya manusia dalam rencana penganggaran.

Untuk itu, solusi yang diperlukan kedepannya adalah pembangunan partisipatif yang melibatkan masyarakat desa dalam perencanaan penganggaran hingga alokasi dana desa.

| Penulis adalah Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Founder International Research for Islamic Social Finance (IRISoF).