Monkey Businness PLN dan Pertamina

Ilustrasi: europath.
Ilustrasi: europath.

ZAMAN dulu, konon katanya, tujuan utama privatisasi BUMN adalah untuk mengurangi subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apa benar?

Sekarang, sebagian besar BUMN diprivatisasi. Namun efeknya, tak lama setelah diprivatisasi, beberapa BUMN akan bangkrut, atau setidaknya tak lama lagi. PT Garuda Indonesia bangkrut. 

Yang lain kemungkinan segera menyusul, tak terkecuali BUMN karya, BUMN transportasi, termasuk BUMN keuangan dan perbankan. Untungnya PT Pertamina dan PT PLN tidak diprivatisasi seperti saudara-saudara yang lain karena dilarang oleh konstitusi. 

Kedua BUMN ini memang disubsidi cukup besar. Karena harga jual barang dua BUMN ini ditetapkan atau diatur pemerintah. Semua proses bisnis juga berdasarkan aturan pemerintah.

Lalu, apakah dengan privatisasi melalui sub holding akan mengurangi subsidi APBN pada dua BUMN ini? Itu pertanyaan paling kunci yang harus dijawab oleh semua pembantu Presiden Joko Widodo.

Belajar sedikit dari PLN

Penyediaan listrik seharusnya dilakukan secara terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Namun faktanya tidak. Bahan bakar dikuasai swasta atau pihak lain. Pembangkit dikuasai swasta atau pihak lain. Mungkin  Integrasinya ada pada kewajiban PLN untuk membeli listrik swasta dan kontrak jangka panjang dengan perusahaan penghasil energi primer.

Lalu apa yang terjadi? Perusahaan pemilik energi primer untung besar dari proses ini. Perusahaan tambang batubara dan perusahaan gas kaya raya lewat skema ini. Demikian juga pemilik pembangkit swasta kaya raya. Bayangkan mereka tidak menerima risiko apapun. Mereka menghitung akumulasi uang setiap detik. 

Untungnya PLN segera banting setir. Membeli perusahaan perusahaan penghasil energi primer, jadi PLN bisa mendapatkan sumber energi primer dari perusahaan sendiri. Dengan demikian tidak sepenuhnya tergantung atau digantung. 

Demikian juga dengan pembangkit. PLN juga membangun pembangkit sendiri. Jadi tidak bergantung pada listrik yang dihasilkan swasta. Seandainya PLN bergantung pada listrik yang dihasilkan swasta maka amblaslah keuangan PLN. 

Bayangkan swasta ini, punya tanbanh batubara sendiri dan punya pembangkit sendiri, keduanya dibeli secara gelondongan oleh PLN. Meskipun belakangan pembangkit PLN sendiri terancam ditutup karena komitmen pemerintah untuk mengurangi energi fosil. 

Padahal yang terjadi listrik over supply atau kelebihan kapasitas. PLN akan jadi korban. Publik bertanya mengapa bukan menghentikan pembelian listrik dari pembangkit swasta? Pertayaan paling sulit karena banyak pembangkit merupakan bisnis para penguasa.

Skema kontrak pembelian bahan bakar yang tidak adil dan skema pembelian listrik swasta yang wajib atau take or pay inilah biang kerok mengapa subsidi listrik membengkak. PLN wajib beli semuanya. Termasuk jika swasta memproduksi listrik berlebih semua wajib dibeli. Sementara harga jual listrik dipatok oleh pemerintah. Untung dan rugi PLN ditentukan oleh peraturan atau regulasi. Jadi rugi dan untung itu tergantung peraturan dan nilai subsidi yang besar adalah dampak dari peraturan.

Sub holding dan bengkaknya subsidi

Sub holding adalah privatisasi. Namun para penasehat ekonomi dan keuangan pemerintah sudah tidak berani menggunakan istilah privatisasi. Dalam sebuah dokumen dikatakan bahwa sebaiknya pemerintah jangan menggunakan kata privatisasi karena publik sudah paham dan mencelanya sebagai sebuah penghianatan.

Apakah sub holding akan mengurangi subsidi? Mari lihat gambaranya. Sebuah perusahaan seperti pertamina biaya terbesarnya adalah dari pembelian minyak mentah. Sebagian besar minyak mentah diproduksi oleh perusahaan swasta. Apa yang terjadi minyak mentah inilah yang menyedit subsidi paling besar dalam struktur produksi. 

Lalu bayangkan ya kalau semua anak perusahaan pertamina hulu dipisahkan dari induknya, diswastakan dikuasai sahamnya sebagian oleh swasta. Sudah pasti subsidi akan membengkak. Bayangkan pula kalau kilang kilang dipisahkan dari induknya, lalu semua minyak yang dihasilkan kilamg wajib dibeli oleh Pertamina, bisa dipastikan uang Pertamina akan disedot seperti alat penyedot debu. 

Cara di atas sama dengan di PLN. Di mana hulunya yakni penghasil bahan bakar primer dan pembangkit swasta dikuasai pihak lain. Di pertamina hulu migas dan kilang akan dikuasai pihak lain. Lah Pertamina dapat mentahan dari mana? Bagaimana mungkin Pertamina bisa melaksanakan BBM satu harga dan penugasan, di mana harga jual BBMnya ditetapkan pada harga rugi.

Bagaimana pula sub holding akan memisahkan antara PLN dan unit usaha penghasil energi primer dan pembamgkit dalam kasus pembangkit listrik geotermal? Padahal geotermal merupakan energi masa depan yang akan murah dan ramah lingkungan. Ini adalah ide yang buruk bagi PLN dalam rangka memperbaiki bauran energi dan mendapatkan pinjaman murah di masa depan terkait isu perubahan iklim.

Lalu setelah nanti PLN akan disandera lagi dengan kewajiban wajib beli dengan harga mahal dengan alasan ini pembangkit ramah lingkungan. Maka makin bengkaklah biaya pembelian listrik oleh PLN. Dengan demikian maka susbsidi APBN kepada PLN akan membengkak, untuk membeli listrik ramah lingkungan dan menyalurkan listrik dengan harga sesuai yang diatur pemerintah. Jadi subholding ini akan menguras dua sekaligus yakni Menyedot uang BUMN dan menyedot uang negara. Monkey business.

| Penulis adalah peneliti pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).