Nasib Aceh Jika Anies Presiden

Anies bersama Wali Nanggroe Aceh, di Meligoe Wali. Foto: RMOLAceh.
Anies bersama Wali Nanggroe Aceh, di Meligoe Wali. Foto: RMOLAceh.

BAGAIMANA nasib Aceh jika Anies jadi Presiden RI? Pertanyaan ini wajar diajukan sejak dini, karena Anies sudah berniat menjadi Presiden RI.

Kita lepas dulu semua proses yang mesti dijalani oleh Anies dan para pendukungnya yang masih harus berkerja keras untuk memastikan Anies Baswedan bisa menjadi calon presiden.

Dalam kunjungannya ke Aceh, Anies menyatakan bahwa tugas bersama saat ini untuk Aceh adalah menghadirkan keadilan. 

Menurut Anies, dengan menghadirkan keadilanlah perdamaian bisa dirawat, dan jika perdamaian terjaga maka kekerasan dan konflik akan hilang.

Dengan begitu dapat disimpulkan jika Anies jadi presiden maka yang menjadi tugas bersama adalah menghadirkan keadilan.

Dengan kata lain, indikator perdamaian itu bukan hanya tiada kekerasan dan tiada konflik lagi melainkan yang utama adalah dengan hadirnya keadilan. Inilah yang menurut Anies mesti diikhtiarkan secara bersama-sama.

Apa yang disampaikan oleh Anies dihadapan rakyat Aceh tentu tidak ada yang luar biasa. Mengapa begitu?

Malik Mahmud pada saat masih sebagai Perdana Menteri GAM, usai upacara MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 pernah menyatakan bahwa perjuangan GAM yang sudah dilakukan bertahun-tahun juga bertujuan untuk mencapai keadilan bagi bangsa Aceh. 

Menurut Wali Nanggroe yang ikut mempeusijuk Anies itu, tidak ada perdamaian di Aceh disebabkan karena tidak adanya keadilan. Disebutkan, apa yang diharapkan akan tercapai dengan menandatangani perjanjian ini adalah satu permulaan proses yang akan membawa keadilan bagi bangsa Aceh.

“Keadilan artinya menjamin bahwa rakyat mempunyai hak bersuara dan bahwa suara mereka itu didengar dan keinginan mereka diikuti,” kata Malik Mahmud 17 tahun lalu.

Malik Mahmud bahkan menyampaikan kunci menjaga perdamaian, yaitu melalui pelaksanaan demokrasi yang sejati, yaitu demokrasi

yang tidak membatasi ruang pemikiran-pemikiran – ia justru menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran. Dan demokrasi yang tidak berlutut di hadapan kekerasan – ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan dan ketidakadilan. 

Dengan begitu, apa yang disampaikan Anis dengan menghadirkan rasa keadilan bukanlah gagasan, narasi dan karya yang baru. Hanya saja yang belum terjadi adalah kemampuan mewujudkan gagasan, narasi, dan karya yang dapat diikhtiarkan secara bersama-sama.

Inilah yang tampak nyata terjadi di Aceh. Spirit, etik dan ethos membangun di Aceh masih berbasis galak-galak ku tak sigo. Sumber daya (dana Otsus) dan kesempatan yang ada (regulasi UUPA) masih dilihat sebatas peluang untuk masing-masing diri dan kelompok untuk seukut pu yang na ile, bukan sebagai modalitas untuk menghadirkan jalan bagi memungkinkan semua orang dapat meraih keadilan. 

Lihatlah praktek politik anggaran Otsus selama ini, apakah secara programatik diperuntukkan bagi memperbesar kesempatan kepada semua orang guna meraih keadilan, atau sebatas praktek padum bata padum batee?

Kalau yang terjadi dalam praktek pembangunan adalah yang terakhir maka siapapun pemimpin di Aceh atau siapapun yang bersedia berkerja keras dan jujur akan kalah dan tumbang, bahkan ditengah jalan. 

Meminjam istilah Anies, praktek pembangunan Aceh hanya lagak di narasi, tapi miskin gagasan sehingga karya-karya yang hadir dari kegiatan pembangunan hanya meunan-meunan laju.

Ukuran karu atau hana karu di Aceh bukan pada diskusi manfaat program melainkan pada padum keu kamo yang harus na sabee tiap-tiap tahun. Jika hana, maka preh bak ujoeng, bah meugulong. 

Inilah yang oleh Surya Paloh bahwa Aceh sudah berada di lampu merah karena mengalami demoralisasi sehingga membuat Aceh terus menerus menjadi provinsi termiskin. 

Sama dengan Anies, menurut Surya Paloh, membangun Aceh menjadi berkewajiban semua elemen untuk saling bahu membahu, dan menyatakan Aceh segera bangkit.

"Kita harus perjuangkan bersama, perjalanan masih panjang. Tidak ada lagi saling menyalahkan, kita sudah jauh tertinggal, maka kita harus bangkit mengejar ketertinggalan itu," kata Surya Paloh, Juni lalu.

Sayangnya, ajakan Surya Paloh itu sama sekali tidak diindahkan. Praktek saling menyalahkan masih terus berlangsung dalam kerja-kerja membangun Aceh. Energi Aceh Interest yang pernah disampaikan oleh Hasan Tiro tidak lagi menyala, padam seiring menuanya GAM yang baru sala merayakan Miladnya yang ke-46.

Jika Anies nanti benar-benar menjadi Presiden RI maka ini kesempatan ketiga bagi Aceh. Dua kesempatan sudah berlalu dengan sia-sia yaitu pada periode SBY - JK dan Jokowi - JK. Kesempatan ketiga ini karena pada Anies ada politisi Aceh yaitu Surya Paloh dan ada Jusuf Kala yang menjadi motor lapangan mewujudkan perdamaian Aceh.

Tentu saja apa yang saya bahas hanya sebatas logika politik sederhana. Tidak ada jaminan apapun dalam politik bahwa Aceh akan makin berkeadilan, siapapun presiden hasil Pilpres 2024, termasuk Anies, Ganjar, Puan, Airlangga atau Erik Tohir. 

Kuncinya tetap saja pada bagaimana meninggalkan kebiasaan buruk yang sudah menumpuk hingga menjadi virus yang merusak cita-cita Aceh. Kita tutup artikel ringan ini dengan mengutip quote Mina Tadros: “Jika kamu ingin mengubah duniamu, kamu harus mulai memupuk kebiasaan baik."  

| Penulis adalah pemerhati politik Aceh.