Nasionalisme Agamis, Agamis Nasionalis

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

SOEKARNO, delapan puluh tahun yang lalu, sudah bermimpi tentang kerjasama yang sulit dibayangkan antar elemen bangsa ini, sebelum proklamasi dibaca di Jakarta 1945. Kerjasama antar berbagai elemen yang berbeda, bahkan berlawanan wataknya, dibayangkan Sang Proklamator.

Soekarno menulis artikel panjang tentang pentingnya menyatukan unsur 1) nasionalisme, diartikan sebagai patriotisme atau cinta tanah air, 2) agama, terutama Islam yang dianut kebanyakan penduduk waktu itu, dan 3) sosialisme, sebagai ideologi solidaritas yang banyak menjadi harapan para pemimpin kala itu.

Namun, istilah terakhir mengandung banyak kontroversi sepanjang sejarah Indonesia. Karena sosialisme, Marxisme, dan komunisme yang kadangkala berkelindan sering menimbulkan salah pengertian, bahkan akibatnya mengarah pada ketidakstablian politik, dan bahkan benturan ideologi.

Paling tidak sosialisme masih relevan dan layak menjadi bahan perbincangan saat ini, tapi tidak komunisme dan Marxisme bagi publik Indonesia. Tetapi unsur nasionalisme dan agama tetap relevan, dan hingga reformasi ini masih perlu ditafsir terus.

Unsur nasionalisme sebetulnya sudah ada dalam setiap tradisi suku-suku di bangsa ini. Etnis terbesar Jawa menyimpan istilah abangan, artinya merahan, yang menjadi banyak bahan penelitian antropologi dan sosiologi baik oleh pengamat Indonesia ataupun mancanegara. Abangan menjadi simbol tersendiri yaitu warna merah yang masih relevan.

Sukarno sejak awal memang memberi tafsir kelompok ini dengan berbagai istilah, bisa Marhaenisme, nasionalisme atau bahkan sosialisme. Indonesia memang tempat bertemunya banyak aliran dan menjadi aliran baru. Nasionalisme menjadi unik di negeri kepulauan ini. Setiap suku dan kelompok mempunyai cara unik untuk menghargai cinta tanah air. Namun, nasionalisme tidak berdiri sendiri.

Sementara itu, jika kita lihat partai politik saat ini dalam sistem multipartai pasca-reformasi, tidak ada satupun yang betul-betul seratus persen nasionalis secara ideologis. Unsur-unsur agama sudah masuk dan sengaja diakomodasi demi adaptasi dan daya survival (sintas). Bahasa yang paling manjur adalah bahasa agama, mudah dimengerti, gampang diterima, dan tidak menimbulkan kontroversi.

Cinta tanah air dan membela negara dengan mudah dilafalkan dengan bahasa iman, teologi, dan ibadah. Semua partai, baik warna merah, kuning, hitam, biru dan warna-warna lain yang kreatif dengan sengaja mengadopsi program-program dan label-label yang merangkul iman dan sikap ketakwaan. Mungkin salah satu gagasan Sukarno sudah berjalan tanpa kita sadari, bahwa nasionalisme agamis betul-betul pilihan yang sesuai bagi budaya dan sikap bangsa ini.

Begitu juga kita saksikan dalam keseharian tidak ada partai politik yang betul-betul seratus persen berideologi agama, sebagaimana kita jumpai di negara-negara Muslim lain seperti di Afghanistan, Mesir, Pakistan, dan lain-lain. Indonesia selalu menjadi tanah subur untuk menggabungkan unsur agama dan lainnya. Warna simbolik hijau, biru, dan hitam-kuning selalu menekankan nasionalisme, cinta tanah air.

Hadits yang banyak dianggap kurang kuat secara sanad atau transmisi dalam tradisi Islam, tentang cinta tanah air popular sejak berdirinya bangsa ini, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Mars ya lal wathan atau syubbanul wathan merupakan ungkapan nyata, bahwa iman justru merupakan sumber inspirasi cinta tanah air. Keimanan adalah justifikasi dari patriotisme dan nasionalisme.

Dalam teori dan juga dalam praktik ilmu politik dan sosial memang agama dan politik disarankan diperjelas garisnya, sebagaimana diungkapkan oleh para pemikir dan pemimpin Indonesia dari Driyarkara, Abdurrachman Wachid, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, dan lain-lain hingga akademisi yang muda-muda milenial.

Para pemimpin sudah lama mengamati pengalaman di berbagai negara bahwa bercampurnya agama dan kepentingan politik bisa membahayakan propaganda yang dimanipulasi sebagai pra-abad pertengahan Eropa dan pengalaman sejarah bangsa-bangsa berbagai agama. Agama sebagai alat kekuasaan, disamping efektif dan mudah, rentan penyalahgunaan, sebagaimana pengalaman sejarah semua agama mengajarkan itu.

Namun, di era saat ini, semangat religius dan sentimen keagamaan kadangkala memudahkan komunikasi. Bahasa-bahasa agama dalam bisnis, politik, pergaulan sosial, dan ekonomi terbukti ampuh meningkatkan daya minat, daya jual, dan menggairahkan pasar.

Pertanyaannya adalah batas jelas antara agama dan politik dimana? Sebagaimana batas antara agama dan persaingan ekonomi, agama dan strata sosial, agama dan kehidupan-kehidupan keseharian, faktanya, kita tidak mudah menjelaskannya. Kita terima bahwa agama memang penting dalam kehidupan manusia, tidak semata sebagai iman, tetapi menyatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kembali ke visi Soekarno lagi, bahwa menyatunya unsur agama dan nasionalisme sudah lama dipikirkan, tidak hanya Sang Proklamator tetapi juga pemimpin-pemimpin lain yang realistis. Kita bayangkan dalam Pemilu 2024 tahun depan, sudah bisa ditebak bahwa partai yang bertumpu pada massa nasionalis akan bergandengan dengan partai yang lebih berorientasi kelompok keagamaan.

Para kandidat pemimpin yang diusungpun tampaknya merupakan gabungan dari dua unsur itu, entah merah dengan hijau, biru dengan biru, kuning dengan hijau, hitam dengan biru, atau berbagai warna pelangi yang mengharuskan kita sebagai rakyat dan pemilih bertambah dewasa.

Pemilu kita mahal harganya, ongkos ekonomi, sosial dan politik Pemilu serentak tidak akan lebih murah dari Pemilu terpisah. Mari sadari dan mari tumbuh menjadi dewasa dalam memahami perbedaan pilihan, sebagai harapan Sang Proklamator saat masih muda atau ketika menjelang senja. 

| Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.