Nestapa Aceh Meski Punya Dana Otsus Rp 95,9 Triliun

ilustrasi. Foto: ist.
ilustrasi. Foto: ist.

AWAL tahun 2023 merupakan ajang refleksi bagi Pemerintah Aceh dan juga langkah awal perencanaan untuk pembangunan Aceh satu tahun ke depan. Aceh masih berpangku pada peningkatan perekonomian dan pengentasan kemiskinan, isu klasik ini belum ada solusinya sampai saat ini.

Bedasarkan data Kementerian Keuangan dan dokumen Anggaran Perencanaan dan Belanja Aceh (APBA) secara keseluruhan selama kurun waktu 15 tahun, provinsi Aceh sudah menerima Dana Otonomi Khusus (DOKA) dari pemerintah pusat sebesar Rp 95,93 triliun. Nominal yang diperoleh sangat besar, tiga kali lipat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dalam rentang waktu 15 tahun yaitu Rp 31,12 triliun.

Akan tetapi menurut evaluasi dari Kemenkeu 2021, pengelolaan dana Otsus Aceh belum maksimal, hal ini dibuktikan dengan sisa dana Otsus Aceh kurun waktu 2013- 2020 sebesar Rp 7,7 triliun, ditambah lagi  tahun 2021 dalam dokumen APBA 2022 sisa lebih perhitungan anggaran DOKA tercatat mencapai Rp 3.41 triliun. Banyaknya sisa anggaran pengelolaan dana Otsus umumnya diakibatkan tidak adanya korealasi antara perencanaan anggaran dengan hasil aktivitas/program yang diharapkan.

Selain itu, nominal dana otsus Aceh dari tahun 2008 sampai 2022 yang disalurkan oleh pemerintah pusat ke Pemerintah Aceh, dampak terhadap perekonomian Aceh belum sepenuhnya dirasakan. Ditambah lagi tingkat kemiskinan masih signifikan tiap tahunnya. 

Tujuan utama dana Otsus Aceh ditujukan untuk mendorong laju perekonomian demi terwujudnya masyarakat Aceh yang sejahtera. Salah satu cara melihat gagal atau berhasilnya pemanfaatan realisasi Dana Otsus Aceh sejak dianggarkan tahun 2008 adalah dengan kacamata kesejahteraan. Kesejahteraan diletakkan sebagai tujuan akhir, sedangkan otonomi khusus merupakan cara atau upaya pencapaiannya.

Realitanya, dana Otsus sampai sekarang belum mampu menunjukkan peran signifikan dalam mengangkat kesejahteraan rakyat di Aceh. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama bagi Aceh, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, dari 5.274.871 juta total penduduk provinsi Aceh pada tahun 2021, 850.260 jiwa atau 15,53 persen dari jumlah penduduk Aceh hidup dalam kemiskinan, dan pada Maret 2022 sedikit menurun menjadi 806.62 jiwa, atau 14,64 persen, menjadikannya provinsi termiskin kelima di Indonesia dan provinsi termiskin di pulau Sumatera. Masih tingginya angka kemiskinan di Aceh tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan dana dari pemerintah pusat melalui dana Otonomi Khusus.

Oleh karena itu, menurut penulis, pengelolaan dana Otsus oleh pemerintah Aceh belum mampu menjadi solusi. Bahkan gagal dalam pengentasan kemiskinan serta membuat Aceh sebagai daerah sejahtera.

Penggunaan anggaran tersebut umumnya masih menggunakan konsep/program lama yang tidak up to date, yang mayoritasnya dihabiskan program-program infrastruktur. Sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengentasan kemiskinan masih di bawah 10 persen. Di samping itu, Aceh juga memiliki tingkat kasus korupsi yang tinggi. Berikut ini adalah total DOKA dan PAD Aceh dari tahun 2008—2022. 

PAD

DOKA

Tahun

( rupiah)

2008

720.000.000.000

3.590.000.000.000

2009

740.000.000.000

3.730.000.000.000

2010

796.949.424.000

3.850.000.000.000

2011

805.179.231.000

4.510.000.000.000

2012

901.174.000.000

5.480.000.000.000

2013

1.309.623.000.000

6.220.000.000.000

2014

1.779.626.000.000

6.820.000.000.000

2015

1.560.000.000.000

7.060.000.000.000

2016

2.060.180.945.000

7.707.216.942.000

2017

2.276.305.568.000

7.971.646.295.000

2018

2.359.385.393.000

8.029.791.593.000

2019

2.698.912.471.000

8.344.873.155.050

2020

2.184.607.197.000

7.555.283.272.000

2021

5.378.320.000.000

7.555.830.000.000

2022

5.558.140.000.000

7.500.000.000.000

Total

31.128.403.229.000

95.924.641.257.050

Sumber: Modifikasi dari Arispen et al. (2021) 

Jika menilik tabel di atas, Aceh masih mempunyai ketergantungan yang masih tinggi terhadap dana Otsus sebagai sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanjanya. Ketiadaan dana Otsus akan berdampak pada kapasitas fiskal dan kinerja belanja daerah.

Selain itu, kurang pemanfaatan dana otsus sebagai wadah penunjang peningkatan PAD.  Dengan kata lain, ritual penggunaan anggaran otsus selama 15 tahun ini hanya menjadi kegiatan biasa saja dengan minus kontribusi untuk perokonomian Aceh.

Secara umum 3 hal yang menjadi indikator sukses dan gagal nya pengelolaan dana Otsus di Aceh. Yaitu perkembangan atau pertumbuhan Indek Pembangunan Manusia (IPM), rerata pertumbuhan IPM periode 2010-2022 di Aceh 0,85 persen, dan masih di bawah dibandingkan pertumbuhan rerata IPM nasional sebesar 0,95 persen.

Keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup masyarakat/penduduk merupakan salah satu aspek penting yang harus diutamakan oleh pemerinah Aceh untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Aceh dari segi kesehatan, pendidikan yang dicapai, dan standar kehidupan warga.

Untuk itu, dengan pemanfaatan dana Otsus, indikator IPM ini perlu diperhatikan untuk pembangunan ekonomi Aceh. Yakni, meningkatkan derajat perkembangan penduduk Aceh meraih kesejahteraan.

Selain itu untuk mencapai IPM yang bagus, perlu didesaign program-program yang berimpak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sepeti di sektor kesehatan, dengan penurunan angka stunting (permasalah gizi kronis), tetap memperpanjang program jaminan kesehatan Aceh dan penuruna angka kematian bagi ibu hamil serta sosialisasi hidup sehat dengan bebas rokok. 

Sektor pendidikan, peningkatan mutu belajar siswa dan mahasiswa, peningkatan saran dan prasarana sekolah dan kampus, peningkatan mutu guru, pemberian beasiswa untuk anak-anak mantan kombatan, anak dari keluarga miskin dan santri dayah, juga tranparansi dalam pengelolaan/pemberian dana pendidikan untuk siswa dan mahasiswa.

Untuk meningkatkan standar kehidupan warga Aceh, dipermudahkannya akses modal usaha, peningkatan UMKM, peningkatan bantuan alat dan modal untuk pertanian, peningkatan industri, ketersediaan lapangan kerja dan perbanyak pelatihan/training untuk peningakatan skill (keahlian).  

Kedua, mengurangi tingkat kemiskinan, permasalahan klasik ini belum ada solusinya di Aceh. Menurut data BPS, rerata penurunan penduduk miskin periode tahun 2010-2022 di Aceh 0,76 persen, dengan rerata penurunan penduduk miskin nasional sebesar 0,52 persen.

Tawaran program untuk pengentasan kemiskinan di Aceh adalah praktik kolaborasi anggaran serta cross-cutting (lintas sektor) sumber daya manusia dan kinerja. Program ini sebagai langkah meruntuhkan ego sektoral dan memperkuat kolaborasi.

Dengan cara ini, dapat mengurangi beban pengeluaran dana Otsus, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperoleh ketepatan data kemiskinan untuk menentukan intervensi yang tepat. Strategi lainnya dengan mengurangi beban pengeluaran dana otsus, meningkatkan kemampuan PAD, mengembangkan dan menjamin keberlanjutan UMKM, serta meningkatkan sinergi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

Menghidupkan semangat gotong-royong lewat work from field (WFF) yang nol anggaran. Penigkatan pendekatan pro-poor. Seperti memberikan proteksi dan afirmasi lewat bantuan sosial, jaminan sosial, subsidi barang kebutuhan pokok, dan peningkatan pelayanan publik untuk kaum miskin. Pendekatan pro-job, seperti upaya penciptaan lapangan kerja untuk kaum miskin, serta pro-growth, penciptaan pertumbuhan ekonomi Aceh yang mampu memperluas kesempatan kerja di sektor formal. 

Ketiga, meningkatkan pertumbunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), rerata pertumbuhan PDRB per kapita periode 2010-2022 di Aceh 3,73 persen, dengan rerata pertumbuhan PDRB per kapita nasional sebesar 9,30 persen. Dengan adanya alokasi dana Otsus ke Aceh kedepannya dapat mempengaruhi pertumbuhan PDRB sehingga meningkatkan geliat aktivitas perekonomian di Aceh. 

Selama ini, dengan dana Otsus, tingkat pertumbuhan PDRB semakin meningkat, nyatanya tingkat kemiskinan juga semakin tinggi. Kedepannya, perlu adanya sikronisasi antara pertumbuhan PDRB, laju pertumbuhan ekonomi dan berdampak pada penurunan angka kemiskinan di Aceh. Beberapa capaian indikator kesejahteraan dan perekonomian di atas tentunya tidak hanya disebabkan oleh keberadaan dana Otsus. Namun merupakan hasil capaian dari pelaksanaan program pembangunan yang didanai oleh APBN maupun APBA secara keseluruhan.

Dana Otsus diharapkan dapat berperan sebagai pendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di daerah Otsus, namun perkembangan beberapa indikator masih menunjukkan pertumbuhan di bawah rata-rata nasional. 

Tidak dipungkiri, dana Otsus juga sudah dirasakan manfaatnya oleh warga Aceh, yaitu telah membantu ribuan anak korban konflik, anak fakir miskin dan pelajar Aceh lainnya mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai diakibatkan buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.

Di samping kekurangan itu, secara umum dana Otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Durasi lima tahun (hingga tahun 2027) sisa penerimaan dana otsus Aceh dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh akan bisa bersaing dengan provinsi lain di Indonesia untuk meraih kesejahteraaan.

| Penulis adalah tenaga pengajar pada Program Studi Ekonomi Islam FEB-USK dan Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia (IIUM).