Netralitas ASN di Pemilu 2024

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

MENTERI Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas memberikan warning keras pada Aparat Sipil Negara di lingkungan Kementerian Agama agar bersikap netral dalam Tahun Politik 2024 (https://politik.rmol.id, 28 April 2023). Warning Menteri Agama RI ini menjadi penting di saat Pemilu dan Pikada yang akan digelar satu tahun lagi kian dekat.  

Sebelumnya, sejumlah menteri juga memberikan himbauan netralitas PNS di lingkungan kementerian masing-masing. Sebagaimana telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, Pemilu akan diselenggarakan serentak pada Rabu, 14 Pebruari 2024, sementara Pemilukada akan dilaksanakan pada Rabu, 27 Nopember 2024.

Netralitas Aparat Sipil Negara—selanjutnya disingkat ASN-- sangat dibutuhkan bagi organisasi pemerintah republik Indonesia yang misi utamanya adalah mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat untuk kesejahteraan bersama.

Aparat Sipil Negara sebagai warga negara memang memiliki hak-hak politik. Namun, pada sisi lain, ASN juga memiliki kode etik yang salah satunya adalah menjaga netralitas dalam pemilu maupun pemilukada, sebagaimana tertuang dalam UU 5/2014 tentang ASN.

Dalam undang-undang tersebut, setidaknya ada 16 hal larangan untuk para ASN dalam pilihan politiknya, sebagai berikut: (1) Kampanye melalui media sosial; (2) menghadiri deklarasi calon; (3) ikut sebagai panitia atau pelaksana kampanye; (4) ikut kampanye dengan atribut PNS;  (5) ikut kampanye dengan fasilitas negara; (6) menghadiri acara partai politik; (7) menghadiri penyerahan dukungan parpol ke pasangan calon; (8) mengadakan kegiatan mengarah keberpihakan; (9) memberikan dukungan ke calon legisalatif atau independekan kepala daerah dengan memberikan KTP (10) mencalonkan diri tanpa mengundurkan diri sebagai ASN; (11) membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan paslon; (12)  menjadi anggota atau pengurus parpol (13)  mengerahkan PNS ikut kampanye (14) pendekatan ke Parpol terkait pencalonan dirinya dan orang lain (15) menjadi pembicara dalam acara Parpol (16) foto bersama paslon dengan simbol tangan atau gerakan sebagai bentuk keberpihakan.

Larangan ini sendiri termasuk dalam kategori delik aduan. Artinya, kalau ada yang mengadukan ke Bawaslu –Badan Pengawas Pemilu— terkait pelanggaran netralitas ASN, maka dapat diproses, sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku.  Adapun jenis sangsi, jika mengacu pasal 15 PP No. 42 Tahun 2004, terdapat sangsi moral dan juga tindakan administratif sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 15 sd Pasal 20 PP No. 42 Tahun 2004).

Jika melihat regulasi, maka aturan terkait ASN sudah sangat memadai. Dalam berbagai regulasi, sudah demikian jelas, bagaimana seharusnya ASN yang profesional dalam menggunakan hak pilihnya dan sekaligus bekerja secara profesional sesuai kompetensinya.  Namun, secara de facto, ASN masih saja banyak yang melanggar terlibat dalam urusan politik praktis. Artinya, sikap ASN yang netral tidak semudah membalik telapak tangan.

Dalam amatan saya, ada beberapa hal yang menjadikan ASN bersikap tidak netral dalam Pemilu, sebagai berikut:

Pertama, ASN dalam tarikan politik para pejabat yang juga politisi. Meskipun sudah ada larangan pengerahan massa dalam momen politik, tetap saja ASN menjadi ‘obyek’ mobilitas yang menggiurkan bagi sejumlah politisi. Apalagi, ASN dipandang memiliki jejaring yang mapan dan tingkat loyalitas yang tinggi.

Kedua, sebagaimana yang lain, secara personal, ASN memiliki kepentingan jenjang karir yang naik dan tinggi. ASN yang demikian membutuhkan penopang para politisi sehingga mereka merapatkan barisan ke para politisi yang juga pejabat. Harapannya, jika terpilih rakyat, ASN dapat moncer mendapatkan kedudukan yang mapan dan prestisius.

Ketiga, selama ini, penegakan hukum atas pelanggaran netralitas ASN yang lemah. Seringkali ada conflict of interest, antara ASN yang mendukung calon dan pejabat yang didukung menjadikan Bawaslu dan para penegak hukum yang lain kesulitan. Kalaupun ada penegakan hukum, maka lebih sering pada lawan politik dengan berbagai ancaman hukuman.    

Keempat, tiadanya kultur malu atas berbagai pelanggaran netralitas ASN. Artinya, melanggar netralitas bagi ASN, bukan hal yang tabu, meski itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Padahal, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jelas melarang hal tersebut. 

Dalam konteks itu, maka dalam hemat saya, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk meneguhkan netralitas ASN, sebagai berikut:

Pertama, komitmen bersama seluruh pihak untuk menjaga netralitas PNS, baik pemerintah maupun masyarakat sipil. Komitmen ini menjadi penting. Dengan kata lain, komitmen bersikap netral dalam Pemilu dan Pemilukada khususnya para ASN dan para pejabat adalah harga mati.

Jangan sampai ada pemihakan politik tertentu oleh ASN. Demikian juga, pejabat yang politisi  harus tidak boleh mengerahkan ASN dalam tarikan politik tertentu.

Kedua, sikap netral penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu dan DKPP dalam menjalankan tugasnya. Penyelenggara Pemilu tidak boleh berpihak, apalagi berpretensi memenangkan satu calon atau partai tertentu. Tentu demikian akan menjadi preseden buruk. Karena KPU dan penyelenggara lainnya adalah wasit --bukan pemain--agar jalannya Pemilu berlangsung fairplay.

Ketiga, penegakan hukum yang tegas dan konsisten atas pelanggaran ASN dalam netralitas pemilihan umum.  Penegakan hukum harus tidak pandang bulu. Para penegak hukum harus tutup mata; siapapun yang melanggar harus dihukum sesuai aturan yang berlaku.

Sebagaimana pernyataan Lawrence M. Friedman, penegakan hukum adalah kunci utama dalam segala hal ihwal hukum di negeri ini. Tanpa penegakan hukum, apa artinya sebuah sistem hukum.      

Walhasil, ASN seyogyanya tidak hanya bersikap netral, namun juga mendorong bagaimana Pemilu dan Pemilukada berjalan dengan jujur dan adil. Demokrasi di negeri ini ke depan harus lebih kuat. Dan ASN menjadi salah satu pilarnya yang merekatkan, mengokohkan dan menyatukan seluruh elemen anak bangsa. Wallahu’alam.