Nurzahri Sebut Pola Komunikasi di Partai Aceh Sudah Modern, Tidak Sekeras Dulu 

Jubir Partai Aceh (PA), Nurzahri (baju kotak-kotak) saat mendampingi Ketua DPA PA dalam sebuah kesempatan. Foto: RMOLAceh.
Jubir Partai Aceh (PA), Nurzahri (baju kotak-kotak) saat mendampingi Ketua DPA PA dalam sebuah kesempatan. Foto: RMOLAceh.

Juru bicara (Jubir) Partai Aceh (PA), Nurzahri membantah penilaian pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal), Teuku Kemal Fasya yang menganggap pola komunikasi PA selama ini terkesan kuno dan keras. Menurutnya sejak tahun 2014, PA sudah mengubah pola tersebut menjadi lebih modern dengan melibat milenial.


"Sebenarnya sejak dari 2014 kita sudah mengubah pola komunikasi, sudah tidak lagi sekeras masa 2009," ujar Nurzahri kepada Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu, 24 Desember 2022.

Saat ini menurut Nurzahri, pihaknya sudah melakukan pola komunikasi politik yang lebih modern, manajemen partai yang lebih terbuka dan inklusif. PA juga membuka ruang bagi pihak lain yang ingin terlibat dalam partai.

Kondisi tersebut menurut Nurzahri dapat dilihat dari banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR) Aceh dari PA yang berasal kelompok milenial. Sehingga menurutnya.  

"Jadi jiika ada beberapa pihak yang berkomentar demikian sangatlah aneh, bahkan jika ditelusuri kaum senior lebih didominasi dari Partai Nasional," ujarnya.

Nurzahri mengakui yang agak sedikit keras di masa lalu. Namun menurutnya mengubah pola tersebut dengan sistem yang semrawut saat ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Tapi usaha yang kami lakukan, hasilnya bisa kita lihat di legislatif. Anggota dewan  dari PA adalah berasal dari kaum milenial,  dibandingkan partai lain yang rata-rata lebih senior," 

Nurzahri menyebutkan, saat ini anggota dewan termuda juga ada yang berasal dari PA. Sehingga menurutnya akan menjadi aneh jika dianggap PA tidak dekat dengan kaum milenial.

Tidak Semua Persoalan di Aceh Tanggungjawab PA

Lebih lanjut Nurzahri mengatakan pihaknya menghormati dan menerima dengan baik setiap kritikan yang diberikan beberapa pihak dan pengamat politik terhadap PA. Namun dia juga menegaskan tidak semua permasalahan dan persoalan Aceh menjadi tanggung jawab Partai Aceh.

"Tetapi karena dianggap Partai Aceh memiliki kekuatan dominan di Aceh sehingga seolah-olah semua permasalahan yang terjadi di Aceh menjadi tanggung jawab Partai Aceh," ujar 

Menurut Nurzahri, kebijakan dan program pemerintah yang dinilai tidak menguntungkan rakyat Aceh, bukan ranahnya legislatif. Hal tersebut merupakan kewenangan mutlak dari pemegang kekuasaan yakni eksekutif.

"Terkadang orang lupa terkait Kepala Daerah, kita tidak memegang kekuatan eksekutif sedangkan program yang disampaikan pengamat itu adalah program pemerintah yang harus dilaksanakan eksekutif, bukan ranah legislatif," ujarnya.

Nurzahri menjelaskan, lebih kurang lima tahun belakangan ini, PA, sama sekali tidak terlibat dalam ekskutif. Sehingga dengan demikian kebijakan yang tidak pro kepada rakyat bukan dijalankan oleh Partai Aceh melainkan dari Partai Nasional. 

Menurut Nurzahri, pihaknya merasa ada terjadi ketimpangan dari pengamat dalam memberikan kritikan terhadap Partai Aceh.

"Kadang-kadang kami merasa walaupun ada perhatian pengamat terhadap partai Aceh tetapi sisi lain kami lihat pengamat tidak fair dan tidak independen," ujar Nurzahri.

Menurutnya, sejumlah pengamat hanya sepihak mengamati Partai Aceh. Namun tidak menilai eksekutif yang saat ini punya tanggungjawab yang lebih besar terhadap anggaran dan program yang ada di Aceh.

Nurzahri mengakui ada beberapa kendala yang dihadapi Partai Aceh, seperti banyaknya saingan yang berani berbicara dengan vulgar dan menyerang Partai Aceh yang berasal dari Partai Nasional. Tapi dirinya menilai pengamat seolah-olah bungkam dan tidak mau membicarakan hal itu dan bahkan kepimpinan yang saat ini banyak di jabat oleh Partai Nasional.

"Karena banyak saingan yang berbicara vulgar dan setelah kita lihat yang menyerang adalah kader-kader Partai nasional dan kita akui itu, cuma sayangnya pengamat seolah-olah tutup mata, mereka tidak mengkritik," ujar Nurzahri. 

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal), Teuku Kemal Fasya, mengatakan Partai Aceh (PA) akan semakin mengalami kemunduran jika masih menggunakan pola komunikasi politik yang bersifat keras dan kuno. Hal itu dapat dilihat dari hasil survei yang menunjukkan masyarakat Aceh lebih tertarik untuk memilih Partai Nasional (Parnas) dibandingkan Partai lokal.

"Sedikit keras dan agak kuno pola komunikasinya, kalau kita lihat dari trendnya, PA memang dari 2009 dan hampir di setiap pemilu selalu menurun, jadi hasil survei itu bagi saya masuk akal,"  kata Teuku Kemal Fasya Kepada Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu 24 Desember 2022.

Ada beberapa hal lainnya menurut Kemal yang membuat elektabilitas PA menurun di kancah perpolitikan Aceh. Salah satunya PA tidak bisa memegang kendali saat berada dalam situasi berkuasa, dan tidak bisa menjadi momentum yang dapat mensejahterakan rakyat Aceh.

Selama ini menurut Kemal, PA terkesan berpaku pada slogan dan jargon yang dimiliki. Tetapi pada implementasinya semua program tinggal program, tanpa ada kemajuan yang signifikan dan menguntungkan rakyat Aceh.

"Mereka tidak bisa mengikat slogan dengan program yang nyata, itu hanya program saja," ujar Kemal.

Selain itu menurut Kemal, banyak Kepala Daerah seperti di Aceh Utara dan Lhoksumawe yang dianggap kiblatnya ke PA, kinerja juga tidak jelas. Selama dua periode tidak terlihat yang kongkret yang mereka lakukan. 

"Malah yang muncul problem kemiskinan, angka kesejahteraan tidak baik, ada pegawai honorer yang tidak dibayar selama beberapa bulan, ini menjadi masalah yang krusial. Mereka gagal melengkapi kemenangan elektoral dengan politik kesejahteraan," ujar Kemal.

Dengan demikian, jika hasil survei perpolitikan di Aceh, PA menempati posisi nomor empat hal tersebut menurut Kemal merupakan hal yang sangat wajar. Karena masyarakat sudah dapat melihat gerak-gerik PA selama ini.

Kemal juga menjelaskan kelemahannya yang lain yaitu tidak mempunyai akses di pada Nasional. Biasanya partai lokal hanya berbicara isu lokal, karena tidak ada perwakilan yang bisa menggebrak pemerintah pusat.

"Satu kita lihat kelemahan partai lokal yaitu mereka tidak ada ada akses seperti partai politik nasional, karena mereka tidak ada wakilnya di DPR RI," ujarnya.

Kondisi tidak adanya wakil di Senayan membuat PA mereka gagal bersaing untuk merespon kebijakan nasional. PA hanya berbicara hal yang bersifat lokal saya. 

"Hal itu yang menyebabkan parlok kurang bisa memenangkan dan menyenangkan hati masyarakat Aceh, apalagi kebijakan di Aceh ada beberapa yang berhubungan dengan kebijakan nasional," kata Kemal.

Kemal menyarankan, agar bisa bersaing menjadi dambaan masyarakat Aceh maka PA perlu melakukan penyegaran dan mengubah komunikasi politik yang selama ini dibangun. Apalagi 35 persen pemilih berasal dari kelompok milenial.

Menurut Kemal, generasi milenial, pemula dan kaum perempuan tidak suka politik yang berat yang keras. Mereka lebih senang ada terobosan, inovasi, ada kreasinya dan ada politik kegembiraan.

"Itu yang disuka milenial, bangunlah komunikasi politik yang baru," ujar Kemal.

Kemal melihat, Partai yang membangun komunikasi yang ceria dan tidak menakutkan tersebut dilakukan oleh Partai Nasional, contohnya seperti Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sehingga membuat masyarakat respect dengan hal-hal yang damai.

"Ini lah yang berhasil dicuri dan diterapkan oleh NasDem, mereka memunculkan Anies. Kalau kita lihat parlok hari ini PA dan PNA, ibaratnya Parnas sudah pasang gigi empat, partai lokal baru menanjak dengan gigi tiga gapnya makin jauh," ujar Kemal.