Oligopolis Bandar Pulsa

Ilustrasi: shutterstock.
Ilustrasi: shutterstock.

MERGER Indosat dan Tri lepas dari perhatian publik. Diperkirakan, dengan merger, nilai kedua perusahaan penyedia jasa telekomunikasi ini mencapai Rp 85 triliun. 

Bergabungnya dua perusahaan ini juga membuat penguasaan pasar keduanya semakin besar. Indosat menguasai 16 persen pasar, sedangkan Tri sekitar 19 persen dari 200 juta pengguna seluler di tanah air. Ini angka yang besar. Merger ini memungkinkan mereka sangat dominan terhadap pesaingnya.

Lalu apa peran pemerintah? Apa usaha pemerintah dalam mengatasi masalah bersatunya perusahaan- perusahaan besar yang semakin lama semakin mengontrol pasar dan mengontrol harga? 

Apa pula yang dilakukan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha dalam menyelamatkan kantong konsumen di era digitalisasi? Apakah pemerintah mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan anak-anak orang miskin atas kebutuhan pulsa murah sekolah online?

Secara teori katanya kalau banyak pemain masuk ke pasar maka harga akan lebih kompetitif dan menjadi murah. Perusahaan makin efisien karena harus menang dalam bersaing. Kalau demikian bukankah tugas pemerintah membuat iklim usaha yang sehat, semua pihak bisa masuk ke pasar, memastikan tidak ada bandar besar yang mengendalikan pasar.

Apa yang terjadi sekarang? perusahaan perusahaan telekomunikasi merger bergabung. Bisnis ini, semakin lama, semakin oligopolistik. Mereka menguasai pasar dalam kelompok yang saling bersepakat, satu sama lain, dalam semua hal. Termasuk kemungkinan mengatur harga bersama dengan cara “berbisik-bisik”.

Mereka memainkan harga pulsa. Mempertahankan harga agar tetap mahal. Tidak ada yang bisa menurunkan. Masyarakat harus online. Ada pulsa yang dibayar dengan uang negara. Tapi ada pulsa yang terpaksa dibeli oleh rakyat dengan mengorbankan anggaran membeli beli beras, daging, dan buah-buahan. Akibatnya, rakyat tak lagi makan daging dan buah.

Makin lama harga pulsa makin mencekik. Sekian kilobita, sekian megabita, semua tidak bisa menimbang beratnya pulsa. Kita percaya saja beli sekian lalu sekian mega atau giga. tidak ada satupun lembaga yang membantu rakyat menimbang beratnya pulsa yang mereka, perusahaan oligopolis, jual di pasaran. 

Harga yang mereka sepakati secara tertutup, dalam ruang tersembunyi. Tak ada kesempatan tawar menawar harga antara bandar oligopolis ini dengan pembeli; rakyat jelata. 

Pemerintah seharusnya berpikir ulang saat membiarkan dan memberi izin perusahaan raksasa penjual pulsa ini bergabung. Mereka akan menjadi kekuatan yang sangat haus dan lapar dalam menguras isi kantong rakyat di era digitalisasi.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).