Sikap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Cina, Wang Yi, Rabu lalu, dipuji banyak kalangan. Pengamat politik luar negeri, Teguh Santosa mengatakan dalam pertemuan itu, Retno mengingatkan kembali arti penting menjaga perdamaian dan stabilitas di perairan Laut Cina Selatan dengan menghormati hukum internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
- PAN Aceh Gelar Musda secara Virtual
- Partai Demokrat Pertanyakan Alasan Jokowi Ubah Statuta UI
- Hasil KLB Sibolangit Didaftarkan, Profesionalitas Kemenkumham Dipertaruhkan
Baca Juga
“Kita berharap, pemerintahan Partai Komunis Cina di Beijing semakin menyadari bahwa agresivitas mereka memicu ketegangan dan mengganggu kedaulatan negara lain. Dan semoga mereka semakin mengerti bahwa diperlukan upaya dan penghormatan bersama terhadap hukum internasional di kawasan,” kata Teguh dalam keterangan tertulis, Jumat, 15 Januari 2021.
Teguh mengatakan ketegasan Menlu Retno memang perlu disampaikan langsung di hadapan Menlu Cina. Sehigga Cina mengoreksi sikap agresif yang terus mereka perlihatkan dalam beberapa tahun belakangan ini. Agresivitas Cina di perairan Laut China Selatan--Laut Natuna Utara--dimulai dengan klaim sepihak pada 2009 atas perairan yang mereka masukkan ke dalam wilayah yang dibatasi sembilan garis-putus atau dashed-lines.
Sebelum itu, pada 2006, Cina meningkatkan anggaran pertahanan berkali-kali lipat. Tindakan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai sinyal konsolidasi kekuatan militer Cina. Teguh mengatakan bahwa nine dashed-lines bukan isu baru. Setelah Perang Dunia Kedua, klaim yang sama juga pernah disampaikan Cina. Saat itu Cina menggunakan sebelas garis-putus.
Namun, perang saudara antara Partai Komunis China dan Kuomintang membuat obsesi atas nine dashed-lines terabaikan untuk sementara waktu. Setelah PKC memenangkan perang saudara dan memaksa Kuomintang melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949, isu nine dashed-lines pun tidak segera muncul ke permukaan.
Daratan Cina yang dikuasai Partai Komunis Cina, saat itu, sibuk mengonsolidasi diri. Sementara di saat bersamaan, PBB masih mengakui Republik Cina dan Kuomintang di Taiwan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Kepercayaan diri PKC yang berkuasa di RRC mulai bangkit setelah normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat pada kurun 1971-1972, yang diikuti dengan pencopotan keanggotaan Taiwan di PBB dan berbagai lembaga multilateral lainnya. Sampai babak ini, Cina masih belum menjadikan nine dashed-lines sebagai salah satu isu utama.
“RRC dan PKC semakin yakin setelah krisis moneter dan ekonomi di akhir 1990-an, dan krisis yang sama di tahun 2008, mengganggu pondasi ekonomi negara-negara di kawasan,” ujar Teguh.
Apalagi, kata Teguh, Amerika Serikat memutuskan untuk menutup dua pangkalan militer di Filipina, Subic Bay dan Clark Air Base, pada 1992. Langkah ini menjadikan kawasan di Laut Cina Selatan seakan ruang kosong.
Bekas Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) itu mencontohkan kasus yang terjadi antara Filipina dan Cina. Pada 2013 Filipina yang terganggu dengan agresivitas Cina mengajukan gugatan ke tribunal internasional Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda.
Namun Cina tidak menganggap ada gugatan itu. Mereka juga tidak menganggap ada keputusan PCA yang memenangkan Filipina. Sebaliknya, secara sepihak, Cina malah membangun pangkalan di pulau-pulau di kawasan itu.
Berdasarkan pengalaman Filipina itu, Teguh pesimistis Cina mau mengerti dan mau menganggap ketegasan yang disampaikan Menlu Retno. Seperti telah diketahui dan tengah menjadi pembicaraan masyarakat, hanya beberapa jam setelah pertemuan Menlu RI Retno Marsudi dan Menlu China Wang Yi, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI menemukan kapal milik Cina di perairan Selat Sunda.
Kapal itu dikenali sebagai kapal survei Xiang Yang Hong yang tengah melaju dengan kecepatan 10,9 knots menuju ke barat laut. Menurut Bakamla, kapal Xiang Yang Hong mematikan automatic identification system (AIS) yang mereka miliki saat berada di perairan Natuna sehingga lolos memasuki wilayah Indonesia.
Menurut penilaian Teguh, Cina berani bermain-main dengan Indonesia karena mengerti fragmentasi sikap Indonesia terhadap negara itu. “China paham benar bahwa Indonesia menganggap mereka sebagai teman yang bisa diandalkan di tengah situasi ekonomi yang tidak baik dan pandemi Covid-19,” kata Teguh.
Teguh juga menyebutkan bahwa Cina memahami benar bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh memilih jalan kedaulatan untuk mengurangi dan menghilangkan ketergantungan akan hal-hal substansial pada negara lain. Jadi wajar jika Cina tetap besar kepala.
- Tolak Manusia Perahu Asal Rohingya, Pemerintah Indonesia Disorot Media Asing
- Rachmawaty Ingatkan Pesan Bung Karno tentang Konsep Panca Ketahanan Semesta
- Surya Paloh Sayangkan Kemelut Yang Melanda Partai Demokrat