Pandemi dan Dinamika Kebangsaan

Ilustrasi
Ilustrasi

MY NATIONALISM is humanity demikian dikatakan oleh Mahatma Gandhi sang pelopor kemanusiaan. Ungkapan Mahatma Gandhi tersebut menyiratkan dua kata kunci menyoal hakikat kebangsaan; pertama, kebangsaan ialah kemanusiaan dan kedua, solidaritas kebangsaan.

Artinya kemanusiaan dan kebangsaan adalah bagian integral yang saling berkaitan satu sama lain. Menelaah kembali ajaran Mahatma Gandhi tentang kemanusiaan agaknya relevan digunakan untuk membaca nilai kebangsaan di tengah pandemi.

Tak ada artinya kebangsaan di tengah ancaman krisis kemanusiaan akibat badai pandemi yang tak berkesudahan.

Kemanusiaan kita terusik ditengah pandemi. Betapa tidak, hampir setiap saat kita mendengar kabar mengharukan saat kerabat, keluarga, sanak saudara, teman hingga tokoh masyarakat terpapar dan bahkan meninggal akibat Covid 19.

Kemanusiaan kita juga mengedepan saat mendengar ratapan mereka yang jengah tertimpa musibah. Banyak masyarakat yang jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan. Siapa pun sadar dan merasakan bahwa masalah ekonomi merupakan hal yang tak terpisahkan dari masalah penanggulangan dampak Covid 19.

Penentu kebijakan di berbagai negara menghadapi dilema yang sama ketika kebijakan pembatasan sosial dilakukan, dampak ekonomi menjadi problem utama yang mengemuka.

Terlebih, manakala pemerintah tidak mampu memberikan santunan yang signifikan dan dapat memenuhi kebutuhan bagi warganya yang mengalami keterbatasan ekonomi.

Kita melihat gerakan kolektif justru muncul dari masyarakat yang telah jengah akibat pandemi yang tak berujung. Seseorang yang terkena musibah, mendapatkan bantuan dari tetangganya.

Mereka tak harus menunggu didatangi negara. Bahkan, dalam banyak kasus mereka tak sampai berpikir negara akan hadir, mengingat penuh sesaknya rumah sakit dan ragam keterbatasan lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa situasi krisis yang terjadi justru membangkitkan mental kebangsaan di level terendah.

Semangat persatuan dan kebersamaan menjadi kunci dalam menghadapi dampak pandemi. Semua elemen bangsa harus bahu membahu melakukan ikhtiar lahir dan batin mengatasi Covid 19.

Namun, berbagai macam persoalan kebangsaan terjadi di tengah gotong royong masyarakat hadapi pandemi. Mulai dari fragmentasi elite hingga gejala disrupsi kebangsaan.

Fragmentasi Elite di Masa Pandemi

Saat seluruh energi potensial serta sumber daya kolektif dimobilisasi untuk pencegahan dan penanganan dampak wabah, fragmentasi elite justru menjadi simtom negatif yang mengemuka pada tata politik dan pemerintahan kita.

Fragmentasi elite sangat tampak dalam kebijakan penanggulangan Covid 19 dan implementasinya. Fragmentasi dapat kita temukan dalam dua lokus. Pertama, lingkungan pemerintah pusat, khususnya lingkaran inti kekuasaan Presiden dan ranah ministerial.

Kedua, dalam relasi pemerintah pusat-daerah. Miskomunikasi kebijakan penanggulangan pandemi yang seringkali terjadi di lingkaran inti Presiden adalah manifestasi dari fragmentasi elite tersebut.

Tak hanya itu, respon pemerintah daerah terhadap kebijakan pusat juga terfragmentasi. Dari sisi anggaran misalnya, pemda tak serta-merta melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah hingga persoalan inkoherensi kebijakan penanggulangan pandemi Covid 19. Miskomunikasi tersebut cenderung memunculkan kebingungan di tengah masyarakat.

Fenomena fragmentasi elite ini sebenarnya sudah diingatkan banyak studi, salah satunya Fragile State Index (FSI) yang dirilis Fund for Peace.

Indeks ini menunjukkan, salah satu indikator yang berkontribusi besar bagi data tingginya kerentanan (fragility) di Indonesia adalah elite yang terfaksionalisasi (factionalised elites).

Pada FSI 2019, Indonesia menempati posisi menengah pada zona kuning, urutan ke-93 dari 178 negara. Meskipun masih berada pada kategori warning, posisi itu merupakan kemajuan pesat dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya, yakni peringkat ke-61 (high warning).

Itulah mengapa indeks yang sebelumnya berlabel Failed State Index tersebut menempatkan Indonesia pada kelompok negara yang paling meningkat dalam jangka panjang (long-term most improved).

Dari lima indikator dan 12 subindikator, kita memiliki skor buruk pada subindikator faksionalisasi elite (7,3 dalam skala 1-10), di samping HAM dan penegakan hukum (7,3) serta keluhan kelompok (7,1), terutama kelompok agama minoritas.

Apalagi, yang lebih parah adalah efek dari akumulasi fragmentasi elite tersebut adalah adanya narasi-narasi penolakan agenda vaksinasi Covid 19 yang justru muncul dari kalangan elite politik.

Alih-alih mendorong timbulnya konvergensi, narasi yang dimunculkan elite politik malah menyulut divergensi. Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan yang menyulitkan perjumpaan.

Perbedaan kerangka dukungan penanggulangan Covid 19 seperti menjelma dalam poros pendukung petahana versus oposisi yang justru memunculkan kegaduhan publik.

Beberapa oknum elite bahkan memanfaatkan situasi darurat untuk melancarkan agenda politiknya, berbagai cara dilakukan mulai dari menyebarkan informasi hoax hingga memunculkan narasi anti-vaksin. Siapapun yang berusaha memanfaatkan situasi darurat untuk menangguk keuntungan pribadinya adalah penjahat kemanusiaan yang paling nyata.

Memperkuat Identitas Nasional

Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari pandemi Covid 19 adalah signifikansi kemanusiaan dan identitas nasional sebagai daya tahan kebangsaan dalam menghadapi wabah dan krisis yang menyertainya.

Bahwa negara-negara dengan identitas nasional yang kuat seperti Jepang, Korea Selatan, China, Taiwan, Vietnam, Jerman, dan Selandia Baru, menunjukkan efektivitas yang lebih ampuh dalam menghadapi ujian pandemi.

Para psikolog telah lama menengarai bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam menghadapi krisis ialah ego strength (kekuatan jati diri) meliputi kepercayaan dan kebanggaan diri, memiliki kesadaran akan tujuan, bisa mengendalikan diri, dan mengekspresikan diri secara bebas, tetap fokus di bawah tekanan dan mampu mengambil keputusan secara tepat.

Sebuah bangsa sebagai entitas kolektif memiliki semacam ‘kediriannya’ tersendiri.

Ego strength dalam konteks kedirian kolektif bernama identitas nasional, yang bisa terbangun karena keterhubungan kesadaran kesejarahan, kebersamaan nilai dan simbol, serta kebanggaan bersama sebagai bangsa (Diamond, 2019).

Dengan identitas nasional yang kuat, Jerman dan Jepang telah berkali-kali terbukti mampu bangkit dari kejatuhan dan berbagai krisis. Sebaliknya, dengan identitas nasional yang rapuh, negara seperti Myanmar pun tampak begitu lemah. Ribuan korban berjatuhan akibat konflik politik yang terjadi.

Bagi bangsa Indonesia sendiri, pandemi Covid 19 memperlihatkan taraf identitas nasional kita yang sesungguhnya. Gairah elite untuk saling menegasikan dan saling menyalahkan tak juga padam saat kebersamaan dalam menghadapi ancaman diperlukan.

Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan.

Ada banyak momentum dan ragam cara ditengah pandemi Covid 19 yang dapat kita manfaatkan untuk memperkuat identitas nasional. Pertama, momentum gerakan kolektif perluasan dan pemerataan vaksinasi Covid 19.

Dimulai dengan gerakan rakyat yang terorganisir dan masif untuk membantah narasi-narasi yang menyulut divergensi terkait vaksinasi. Sebab, salah satu kunci untuk memutus mata rantai penyebaran Covid 19 adalah mempercepat pembentukan herd immunity dengan perluasan vaksinasi.

Dalam tinjauan Islam pun, vaksinasi termasuk dalam salah satu dari Maqoshid Syari’ah. Jika diperhatikan secara mendalam terdapat dua prinsip maqosid syariah yang relevan untuk menyikapi kondisi pandemi, yaitu Hifdzun nafs (menjaga jiwa), Hifdhul ‘aql (jaminan perlindungan akal).

Dalam keadaan tidak normal seperti saat ini, dua hal di atas menjadi prioritas yang harus didahulukan menurut syariat.

Hifdzun nafs (menjaga jiwa) memberikan titik tekan bahwa dalam kondisi seperti saat ini setiap manusia memiliki kewajiban untuk menjaga atau memberikan perlindungan kepada diri sendiri dan masyarakat sekitar. Karena menjaga jiwa tidak ada alternatifnya, tidak dapat digantikan dengan yang lainnya, maka harus diutamakan.

Hifdhul ‘aql (jaminan perlindungan akal) dapat membantu kita dalam mengurai informasi dan pemberitaan saat ini yang validitasnya patut dipertanyakan. Kencangnya arus informasi yang tidak jarang disinformatif membuat manusia harus memiliki kesadaran utuh dan dapat menyaring segala pemberitaan yang memberikan dampak baik kepada akal.

Dalam hal ini dapat kita terjemahkan bahwa vaksinasi bukan hanya persoalan kesehatan, namun juga persoalan kemanusiaan dan kebangsaan. Jadi, narasi-narasi menyulut perpecahan yang menganggap vaksinasi bertentangan dengan ajaran Islam adalah salah kaprah dan dapat dibantah dengan gerakan kolektif masyarakat yang terorganisir.

Kedua, melakukan defragmentasi elite. Defragmentasi elite merupakan syarat elementer untuk membangun soliditas lintas elite di pusat dan daerah dalam pencegahan dan penanganan dampak pandemi. Semua elite yang sedang memimpin mesti menanggalkan kepentingan ekonomi-politik mereka.

Demikianlah, krisis pandemi Covid 19 memberi kita momen refleksi diri untuk memperkuat identitas nasional secara serempak dengan komitmen untuk memperkuat kebangsaan.

Perayaan hari kemerdekaan Indonesia ditengah pandemi harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk memikirkan ulang bahwa keselamatan seluruh rakyat harus jadi prioritas, sebagaimana doktrin Cicero, salus populi suprema lex esto.

| Penulis adalah Ketua Umum PB PMII