Pangkas Anggaran Rumah Duafa, DPR dan Pemerintah Aceh Diingatkan Agar Tidak Berkhianat

Aliashuddin. Foto: ist.
Aliashuddin. Foto: ist.

Pengamat Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Aliasuddin, menilai Pemerintah Aceh tidak serius dalam memberantas kemiskinan di Aceh. Karena, salah satu kriteria dari kemiskinan adalah rumah layak huni.


"Pemerintah cakap tak serupa bikin ketika menargetkan pembangunan 30 ribu unit. Untuk tahun ini, di RPJM-nya 6 ribu unit. Setelah itu, diturunkan 780 unit. Artinya, hanya 13 persen dari target," kata Aliasuddin kepada Kantor Berita RMOLAceh, Kamis, 14 Januari 2020. 

Menurut Aliasuddin, tindakan ini menunjukan Pemerintah Aceh tidak serius dalam mengatasi kemiskinan. Politikus di pemerintahan, termasuk di Dewan Perwakilan Rakya Aceh, hanya ingin mendapatkan dukungan suara pada saat pemilu saja. 

Padahal, kata Aliasuddin, undang-undang menjamin hak orang-orang miskin dan memastikan bahwa mereka dipelihara oleh negara. Namun melihat fenomena yang berkembang saat ini, terutama saat Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sepakat untuk mencoret anggaran pembangunan rumah duafa, Aliasuddin mempertanyakan kehadiran negara dan posisi pemerintahan Aceh. 

Seharusnya, kata Aliasuddin, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh menambah jumlah rumah duafa yang dibangun lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2021. Apalagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan pembangunan 30.000 unit rumah duafa sepanjang 2017-2022. 

"Padahal pembangunan rumah dhuafa sangat bagus. Tapi, rumah lama wajib dirobohkan. Kalau tidak, rumah lama akan dipergunakan kembali sebagai usulan tahun berikutnya. Itu tidak bagus juga," kata Aliasuddin.

Menurut Aliasuddin, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara punya uang lebih dari Rp 2,7 triliun. Tetapi di daerah itu masih banyak rumah tinggal di rumah tidak layak huni. Kondisi ini menggambarkan ironi orang miskin di negeri kaya raya. Pemerintah Aceh, kata Aliasuddin, seharusnya berkewajiban membela orang yang lemah. Karena pemerintah dibentuk untuk meningkat kesejahteraan rakyat. 

Aliasuddin juga menilai pemangkasan anggaran ini sebagai sebuah kejanggalan. Karena anggaran untuk membangun rumah itu, kata Aliasuddin, tidak mendapat koreksi dari Kementerian Dalam Negeri. "Bahkan Kemendagri menyarankan agar pemerintah menambah,” kata Aliasuddin. 

Menurut Aliasuddin, Badan Anggaran DPR Aceh dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh tidak serius untuk membuktikan janji mereka menyejahterakan rakyat. Rakyat hanya didekati untuk mendapatkan suara pada pemilihan. Setelah perhelatan itu berlalu, nasib rakyat kembali diabaikan. 

TAPA dan Banggar seharusnya kembali ke RPJM. Itu, kata Aliasuddin, adalah janji politik yang harus tepati. Menurut Aliasuddin, RPJM tidak hanya berdiri sendiri. Tapi juga disahkan oleh qanun atau Peraturan Gubernur. Artinya, kata dia, sudah mengikat karena ada persetujuan DPR Aceh dan Gubernur Aceh. 

Pemangkasan anggaran pembangunan rumah duafa ini dinilai Aliasuddin sebagai sebuah pengkhianatan. Seharusnya pemerintah memperjuangkan terget dalam RPJM Aceh 2017-2022, yakni membangun 30.000 unit. Mereka, kata Aliasuddin, mengkhianati janji mereka sendiri. 

"Ketika pemilu mereka memanfaatkan suara duafa. Tetapi setelah terpilih, mereka melupakannya," kata Aliasuddin. "Berkata bohong, mengingkari janji, mengkhianati amanah. Hal tersebut lebih berbahaya daripada kafir."