Para Penyintas di Alam Lepas

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

SAYA selalu saja miris melihat cara kita mengelola negeri ini. Kita selalu dibuat tidak percaya diri oleh orang-orang luar dan antek mereka di dalam negeri untuk sepenuhnya mandiri mengelola seluruh kekayaan dan sumber daya yang disediakan alam, dari ujung barat Sumatera hingga ke ujung timur Papua.

Sebagai negeri yang memiliki hampir semua bahan baku yang dibutuhkan dunia untuk hidup, kita dipaksa untuk salah melangkah. Lihat saja betapa cerobohnya kita mengelola hutan, laut dan kekayaan di bawahnya, sejak awal negara ini didirikan.

Bahkan setelah ratusan perguruan tinggi berdiri di negeri ini, kita malah terlihat semakin tolol. Dalam mengelola satwa liar, yang masih menjadi aset terbesar di negeri ini, hampir tidak ada kebijakan dan perlindungan hukum yang seharusnya disediakan oleh negara.

Lihat saja Sumatera. Di pulau terbesar kedua ini, satwa liar ikonik, yang seharusnya menjadi kebanggaan dan dilindungi eksistensinya, semakin mendekati kepunahan. Harimau, yang terkenal agung dan angker, saat ini hidup tertekan karena terus kehilangan habitat.

Herbivora terbesar di Indonesia, gajah Sumatera, semakin terkecilkan akibat daerah jelajah terus terfragmentasi. Jika mereka pernah menjadi penguasa hutan, dan hidup berdampingan dengan manusia, kisah itu seperti dongeng saat ini. 

Ya, tidak semua memang. Masih ada satwa liar yang saat ini memiliki populasi melimpah di alam liar. Keberadaan mereka mudah dijumpai di banyak belahan daerah di Indonesia. Mereka berhasil menemukan cara untuk bertahan dari himpitan aktivitas manusia. Nasib mereka berbanding terbalik dengan dua satwa kunci hutan Sumatera itu, seperti yang saya sebutkan di atas.

Hewan liar ini mampu bertahan hidup di segala kondisi alam. Mereka bisa ditemui dengan mudah di kawasan konservasi, seperti Taman Nasional, kawasan hutan yang bersisian dengan desa, hingga bertahan hidup di perkotaan. Satwa ini bisa dibilang, “tahan banting.” Tak jarang pula satwa-satwa itu dianggap hama. 

Tiga di antara satwa itu adalah biawak (Varanus Salvator), babi hutan (Sus Scrofa) dan monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Ketiga satwa ini dapat dikatakan kurang popular. Bentuk fisik tidak menarik. Bahkan daging hewan-hewan itu haram untuk dikonsumsi, dari sisi apapun.

Lihatlah bagaimana biawak, satwa reptil melata, ini hidup di kawasan perairan. Tinggal tidak jauh dari sumber air atau perairan. Membangun habitat di pinggir sungai atau rawa-rawa hutan bakau. Hewan ini juga dapat hidup di selokan dan got-got di kota metropolitan, yang bahkan tidak ramah kepada manusia, seperti Jakarta. Biawak memakan tikus, burung dan reptill kecil. Saat ini, biawak berstatus spesies dengan tingkat risiko rendah (IUCN: LC; Least Concern). Jumlah individu biawak saat ini diperkirakan puluhan ribu ekor.

Sedangkan babi hutan berhasil mempertahankan eksistensi mereka. Jumlah hewan ini cukup melilmpah di kawasan hutan atau di pinggiran hutan yang berbatasan dengan permukiman. Banyak masyarakat mengategorikan hewan ini sebagai hama karena doyan mencari makan di kawasan pertanian.

Babi hutan adalah omnivora. Hewan ini memakan apa saja yang bisa dikunyah. Mulai dari akar, buah, tikus, dan cacing tanah. Babi hutan terdaftar sebagai Least Concern Spesies dengan tingkat risiko rendah. Untuk jumlah populasi babi hutan diperkirakan estimasi berjumlah ribuan hingga puluhan ribu. Tersebar merata di seluruh Indonesia. 

Adapun monyet ekor panjang tergolong primata yang sangat adaptif. Hewan ini mengikuti perkembangan peradaban manusia. Dapat hidup pada segala tipe habitat, baik di kawasan hutan hingga kawasan pesisir mangrove. Monyet ekor panjang juga sering dijadikan satwa peliharaan, dipekerjakan untuk mengambil kelapa, artis pada pertunjukan topeng monyet, atau jadi percobaan medis dan sains.

Satwa ini dapat dapat mudah dilihat di Muara Angke, Jakarta; Kuala Langsa, Aceh; hingga Sangeh, Bali. Sebaran hewan ini merata di seluruh Indonesia. Di alam lepas, hewan ini diperkirakan berjumlah hingga puluhan ribu.

Tampang dan warna kulit yang biasa-biasa saja membuat tiga hewan ini mengusai lingkungan dan sangat adaptif. Hewan-hewan ini tidak masuk dalam agenda konservasi karena jumlah mereka melimpah. Bahkan diperkirakan terjadi ledakan populasi tiga hewan ini di alam liar. 

Menarik untuk melihat kemampuan dan peran tiga satwa ini sebagai “satwa prediktor”. Yakni satwa yang mampu bertahan terhadap perubahan iklim. Karena saat ini dan di masa depan, biawak, babi hutan, dan monyet ekor panjang, bakal lebih banyak mendiami kawasan yang tidak sehat. Mudah-mudahan Allah menunjuki kita jalan agar tidak salah langkah dalam mengurus hewan-hewan penyintas itu. Wallahu a'lam bishawab.

| Penulis adalah pengamat satwa liar Indonesia. Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan TGK Chik Pantee Kulu Darussalam, Banda Aceh.