Pejabat di Pemkab Mimika Ikut Ditahan KPK Terkait Korupsi Pembangunan Gereja

Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto (depan kiri). Foto: RMOL.
Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto (depan kiri). Foto: RMOL.

  Seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika resmi ditahan oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Kabupaten Mimika, Papua.


Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto mengatakan, KPK sebelumnya telah menetapkan dan mengumumkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara ini.

Ketiganya, yaitu Eltinus Omaleng (EO) selaku Bupati Mimika periode 2014-2019 dan 2019-2024; Marthen Sawy (MS) selaku Kepala Bagian Kesra Setda Pemkab Mimika yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); dan Teguh Anggara (TA) selalu Direktur PT Waringin Megah (MW).

Untuk tersangka Bupati Eltinus, sudah resmi ditahan pada Kamis (8/9). Dan hari ini, Selasa (20/9), tim penyidik resmi menahan tersangka Marthen Sawy (MS).

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka MS untuk 20 hari pertama terhitung 20 September 2022 sampai dengan 9 Oktober 2022 di Rutan Polres Jakarta Timur," kata Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa, 20 September 2022.

Karyoto selanjutnya membeberkan konstruksi perkaranya. Di mana, sekitar 2013 lalu, tersangka Eltinus yang berprofesi sebagai kontraktor sekaligus Komisaris PT Nemang Kawi Jaya (NKJ) berkeinginan membangun tempat ibadah berupa Gereja Kingmi di Kabupaten Mimika dengan nilai Rp 126 miliar.

Pada 2014, Eltinus terpilih menjadi Bupati Mimika dan kemudian mengeluarkan kebijakan, satu di antaranya untuk menganggarkan dana hibah pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 ke Yayasan Waartsing.

Kemudian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemkab Mimika sebagaimana perintah Eltinus memasukkan anggaran hibah dan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 sebesar Rp 65 miliar ke anggaran daerah Pemkab Mimika tahun 2014.

Eltinus yang masih menjadi Komisaris PT NKJ kemudian membangun dan menyiapkan alat produksi beton yang berada tepat di depan lokasi akan dibangunnya Gereja Kingmi Mile 32 tersebut.

Selanjutnya pada 2015, untuk mempercepat proses pembangunan, Eltinus kemudian menawarkan proyek tersebut ke tersangka Teguh dengan adanya kesepakatan pembagian fee 10 persen dari nilai proyek, di mana Eltinus mendapatkan tujuh persen dan tersangka Teguh mendapatkan tiga persen.

Selain itu, agar proses lelang dapat dikondisikan, Eltinus sengaja mengangkat tersangka Marthen sebagai PPK, padahal dia tidak mempunyai kompetensi di bidang konstruksi bangunan.

Dengan pengangkatan Marthen itu, diduga Marthen juga meminta jatah fee ke beberapa kontraktor yang berkeinginan ikut dalam proses lelang walaupun pemenang telah dikondisikan sebelumnya.

"EO juga memerintahkan MS untuk memenangkan TA sebagai pemenang proyek walaupun kegiatan lelang belum diumumkan," kata Karyoto, seperti diberitakan Kantor Berita Politik RMOL.

Setelah proses lelang dikondisikan, Marthen dan Teguh melaksanakan penandatanganan kontrak pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 dengan nilai kontrak Rp 46 miliar.

Untuk pelaksanaan pekerjaan, Teguh kemudian mensubkontraktorkan seluruh pekerjaan pembangunan Gedung Kingmi Mile 32 ke beberapa perusahaan berbeda, salah satunya yaitu PT Kuala Persada Papua Nusantara (KPPN) tanpa adanya perjanjian kontrak dengan pihak Pemkab Mimika, namun hal itu diketahui oleh Eltinus.

PT KPPN kemudian menggunakan dan menyewa peralatan PT NKJ, di mana Eltinus masih tetap menjabat sebagai Komisarisnya.

Dalam perjalanannya, progres pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan.

Seluruh perbuatan para tersangka bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

"Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekitar Rp 21,6 miliar dari nilai kontrak Rp 46 miliar," ujar Karyoto.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.