Pelecehan Seksual dan Kesenjangan Upah Antargender

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

Kondisi tempat kerja yang tidak nyaman tentunya sangat mengganggu produktivitas para pekerja, terlebih ketika situasi tersebut diperparah oleh perasaan tidak aman akan adanya tindakan pelecehan seksual yang membayangi.

Toh Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) setelah lama melewati drama penolakan dan perubahan jadi RUU TPKS, kini hanya disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna ke-13 masa sidang 2021-2022.

Pelecehan seksual sangat mungkin terjadi pada karyawan di lingkungan kerja. Hal ini bisa kita ketahui dengan melihat berita yang seliweran di media sosial atau jumlah laporan kekerasan seksual pada instansi terkait. Atau bisa saja salah satu dari kita pernah menjadi korban atau bahkan pelaku? Yang terakhir semoga tidak.

Oleh karena itu, adanya undang-undang tentang hal tersebut sangat dibutuhkan demi keamanan dan kenyamanan kerja karyawan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas dan kebahagiaan para pekerja.

Sementara itu, hal lain yang juga menjadi masalah dalam dunia kerja adalah upah. Setiap tahun ketika memperingati hari buruh, para buruh selalu menuntut kenaikan upah, yah karena memang upah adalah hal paling mendasar yang menjadi alasan seseorang untuk bekerja.

Untuk kesejahteraan dan hidup yang layak. Barangkali kamu pernah mendengar keluhan teman atau keluarga yang seorang karyawan. Yang mengeluhkan gajinya hanya cukup untuk memenuhi kelangsungan hidup sampai sebulan.

Hal tersebut tentunya tidak bisa menjadi harapan untuk mengembangkan kualitas hidup. Saya pernah menjadi tempat curhat teman saya yang bekerja sebagai seorang karyawan. ia adalah seorang perempuan. Menurutnya, selain upah yang hanya cukup untuk sebulan, sebetulnya ada hal lain yang menjadi masalah dalam dunia kerja.

Yakni masalah kesenjangan upah antara karyawan laki-laki dan perempuan. Saat itu saya baru mengetahui bahwa warisan budaya kuno yang membedakan perlakuan antara perempuan dan laki-laki di hadapan publik itu telah selesai. Rupanya belum.

Pandangan yang membedakan wilayah domestik dan publik antara perempuan dan laki-laki yang membagi peran dan tanggung jawab keduanya menjadikan perempuan hanya bertugas di dapur dan mengurusi rumah saja, sementara laki-laki bertanggung jawab untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

Pandangan tersebut bisa jadi tepat berlaku pada saman tertentu, namun untuk hari ini, menurut saya tidak. Ketika pendidikan semakin maju dan berkembang. Kualitas individu tidak lagi diukur berdasarkan jenis kelaminnya, melainkan kemampuannya.

Ketika indikator prestasi adalah ukuran untuk menentukan upah seorang pekerja. Lalu apa yang menyebabkan kesenjangan upah antar gender masih banyak terjadi? Sebelum saya mencoba menjawabnya. Saya mau sedikit menjelaskan situasi khusus yang pasti dialami oleh perempuan.

Kita tidak bisa menolak kodrat seorang perempuan. Bahwa ketika haid tentunya bisa mengganggu produktifitas kerja meskipun tidak semua perempuan mengalami nyeri berlebihan saat tiba masanya datang bulan. Dan karyawan perempuan yang sedang dalam masa persiapan kelahiran atau setelah melahirkan yang mengharuskan ia berada di rumah dalam waktu beberapa lama untuk menyusui dan menimang bayinya.

Kondisi itu tentunya mempengaruhi produktivitas pekerjaan seorang perempuan. Namun apakah hal ini yang menjadi sebab utama dalam kesenjangan upah antar gender ketika kita telah menerima kondisi dan keadaan bahwa ada suatu hal yang tidak terhindarkan yang dialami oleh seorang perempuan?

Kesenjangan upah bisa kita terima ketika adanya perbedaan tingkat pendidikan, latihan dan pengalaman yang tentunya mempengaruhi biaya produksi dan produktifitas seorang pekerja. Fakta bahwa perempuan dengan kondisi kodratinya menyebabkan ia kekurangan jam kerja dibanding laki-laki tentunya membuat proporsi biaya produksi yang berbeda pula.

Sehingga mempengaruhi tingkat upah. Jam kerja tersebut juga cenderung mempengaruhi dan mengganggu karir para pekerja perempuan. Namun apakah peradaban dan pendidikan kita gagal membuat kita memahami situasi khusus yang dialami perempuan? 

| Penulis adalah Sekretaris Muslimah Milenial Indonesia (MMI).