Pembangkit Batubara Versus G20

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

INDONESIA merupakan G20 Presidency, forum paling bergengsi abad ini mengagendakan transisi energi sebagai salah satu agenda utama selain digitalisasi dan pemulihan ekonomi dunia, pun demikian Indonesia sendiri tampaknya tidak bisa meninggalkan batubara sebagai sumber cuan yang saat bersamaan menjadi “musuh utama” perubahan iklim. Tidak bisa dipungkiri bahwa batubara merupakan cara mudah menghasilkan uang, tebang hutan lalu keruk batubara, angkut lalu  jual.

Saat ini Indonesia menjadi eksportir batubara terbesar di dunia, dimana batubara merupakan penopang utama keuangan oligarki nasional. Meski demikian penerimaan PNBP APBN dari Minerba sektor batubara secara keseluruhan hanya sekitar 1-2% dari total APBN Indonesia, sangat kecil.

Di dalam negeri Indonesia terus membangun pembangkit batubara. Pembangunan pembangkit batubara merupakan cara efektif untuk menyedot uang bank, belanja PLN dan belanja APBN. Proyek pembangunan pembangkit batubara selama ini merupakan sumber keuangan utama oligarki sejak mega proyek pembangkit 35 ribu megawatt direncakan dan ditetapkan sebagai proyek strategis nasional oleh pemerintah. 

Bahkan untuk mendukung pembangunan pembangkit batubara, maka pemerintah menggelontorkan anggaran besar - besaran  melalui APBN 2022. Arah kebijakan Indonesia sepertinya tidak konsisten. Selaku presidency G20 yang berkomitmen bersama untuk mengakhiri batubara, pemerintah malah terus medukung mega proyek pembangkit batubara melalui APBN. 

Hal ini tergambar dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN). Padahal akhir tahun 2022 pemerintah selaku pimpian G20 Presidency akan memberikan laporan kemajuan dalam pengembangan energy terbarukan.

Nyatanya dalam UU APPBN Pasal 37 Ayat 2 tentang Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:  point (a) pertama yakni Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. pemberian jaminan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara; Point (h) pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

Bahkan dalam rangka terus membangun pembangkit batubara tersebut pemerintah juga memberikan program penjaminan. Dalam Pasal 37 ayat 2 husuf H penjelasan Pemberian jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dibatasi hanya pada proyek yang telah memperoleh jaminan pinjaman oleh Pemerintah kepada kreditur sehubungan dengan pembayaran kembali pinjaman PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selaku pelaksana penugasan pembangunan infrastruktur kelistrikan.

Selain itu dalam anggaran kementerian Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Program Energi dan Ketenagalistrikan senilai Rp. 2,25 triliun yang didalamnya berisikan bahwa Pemerintah juga memberikan program penjaminan Rp. 1,13 triliun untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik. Secara lebih khusus penjaminan pembangunan pembangkit menggunakan batubara Rp. 5,786 miliar dan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 35.000 MW (Infrastruktur Ketenagalistrikan Rp. 3,061 miliar.

Jadi sebetulnya apa urgensinya bagi Indonesia menerima Presidency G20, apakah ini untuk mengundang semua negara anggota G20 untuk bertarung di kandang Indonesia? 

Apakah ini hanya sekedar pertarungan oligarki batubara Indonesia melawan oligarki yang mensponsori isu perubahan iklim global. Kalau benar demikian pertarungannya, maka ini lebih dahsyat dari perang Rusia melawan Ukraina. Karena konon pengusaha batubara Indonesia yang mengekspor 650 juta ton batubara saat ini bisa mengumpulkan uang US$26 miliar atau sekitar Rp 3.909 triliun. Juragan batubara akhirmya bisa menjadi jagoan baru menggantikan juragan minyak.