Pembatasan BBM Pertanda Apa?

Ilustrasi. Foto : net.
Ilustrasi. Foto : net.

DI INDONESIA masyarakat miskin sudah terbiasa dijatah. Dulu di jatah minyak tanah, jaman sekarang dijatah solar, pertalite dan LPG 3 kg.

Suatu saat bukan tidak mungkin juga akan dijatah beras, dan kebutuhan pokok lain. Bahkan, hal ini bisa terjadi dalam waktu dekat. Jika pemerintah sedang susah uang, kita akan masuk era penjatahan.

Hanya saja sistem penjatahan semacam ini belum ada regulasinya. Jatah BBM Solar, Pertalite dan LPG tidak diatur di tingkat Undang-undang (UU), baik UU migas, UU APBN, atau UU keuangan negara. Bahkan dalam UU darurat ekonomi akibat covid yakni UU no 2 Tahun 2020. Terkait penjatahan bahan bakar pertalite, solar, dan LPG 3 kg lupa diatur oleh DPR bersama pemerintah.

Akhirnya jatah masyarakat kurang mampu ini diubah menjadi kuota. Kata jatah di ubah menjadi kuota. Entah dari mana dicomot kata kuota ini. Dari sisi kaidah bahasa yang benar, kata kuota tidak relevan dengan penjatahan bahan bakar bersubsidi.

Menurut KBBI ku·o·ta bisa diartikan jatah; jumlah yang ditentukan: pemerintah akan menentukan -- transmigrasi dari berbagai kabupaten; menurut --, daerah itu harus memenuhi 25% kebutuhan ternak potong. Kuota juga dimaknai jumlah tertinggi dari barang yang mendapat izin impor (ekspor) ke pasaran internasional, negara lain, dan sebagainya dalam jumlah dan periode tertentu; jatah. Terakhir kuota yaitu jumlah tertinggi orang yang boleh masuk (keluar) ke (dari) suatu negara (seperti ketika menunaikan ibadah haji);-- ekspor jumlah maksimum barang yang diekspor dalam waktu tertentu.

KBBI sama sekali tidak mendefinisikan kata kuota terkait BBM bersubsidi. Jadi penggunaan kuota senagai diksi terkait BBM agak sulit dipahami. Sebab bisa memunculkan pertanyaan seperti ini. Apakah kuota atas uang APBN agar tidak jebol?  Apakah kuota bagi setiap daerah agar tidak diambil daerah lain? Apakah kuota bagi setiap orang agar tidak mengambil jatah orang lain? Apakah kuota impor solar dan pertalite bagi perusahaan importir? Ini memang masalah yang rumit bahkan membingungkan.

Tapi intinya terpulang kepada apakah pemerintah punya uang atau tidak. Kalau tidak punya uang maka pemerintah tidak bisa membayar subsidi BBM dan kompensasi atas selisih harga. Maka dikurangilah jatah BBM bersubsidi bagi orang miskin. Namun pemerintah kembali kesulitan menentukan siapa yang berhak menerima jatah ini. Kategori tidak mampu seperti apa yang tidak berhak menerima jatah BBM bersubsidi atau BBM yang harganya lebih dari separuh dibayar oleh pemerintah.

Apakah penduduk berpendapat terbawah yang menurut data bank dunia 40 persen jumlahnya atau sekitar 100 juta lebih orang.

Atau penduduk miskin absolut sejumlah 10,14 persen dari jumlah penduduk atau 27 juta jiwa yang berhak mendapat LPG, pertalite dan solar subsidi. Atau masyarakat kurang mampu pemilik sepeda motor sejumlah 115 juta sepeda motor yang ada di Indonesia yang berhak menerima pertalite subsidi?

Atau penerima BBM subsidi yang berhak ini adalah pemilik 16 juta kendaraan penumpang roda empat di Indonesia. Ataukah penerima jatah BBM subsidi solar dan pertalite ini adalah sekitar 1 jutaan armada angkutan segala jenis.?

Semua ini sulit ditetapkan oleh pemerintah. Sementara pemerintah sendiri dalam keadaan kere dan tidak punya kemampuan lagi membayar harga BBM subsidi sesuai jumlah yang dibutuhkan oleh kelompok kurang mampu diatas.

Maka muncullah kata kuota jebol akibat penggunaan BBM bersubsidi melebihi kemampuan bayar pemeirntah. Akhirnya yang harus  membayar adalah Pertamina sebagai pihak yang ditugaskan menyalurkan BBM bersubsidi tersebut.

Kalau negara saja bisa kekurangan uang, padahal negara bisa mungut pajak, bisa mungut royalti sumber daya alam, bisa utang besar - besaran, bisa jual aset negara suka - suka pemerintah. Lalu bagaimana dengan uang Pertamina yang cuma modal jualan BBM komersial yang kurang dari separuh BBM yang diperdagangkan di Indonesia. Apakah Pertamina tidak tekor?

Oleh karena itu terpulang semuanya kepada pemerintah, harus mencari dan mengumpulkan uang yang banyak, lalu setelah itu naikkan jumlah jatah solar, pertalite dan LPG 3 kilogram bagi kelompok kurang mampu di atas yang jumlah mereka sangat besar.

Ini ibarat negara bapak, maka masyarakat ini adalah anak-anaknya yang jumlahnya banyak banyak sekali yang miskin, maka tugas bapaknya lah yang harus mecari uang agar tetap bisa memberikan subsidi BBM pertalite, solar dan LPG sesuai kebutuhan anak-anaknya. Begitu seharusnya, bukan dibalik.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).