Pembunuhan Brigadir J dan Kemerdekaan Hukum Indonesia

Ilustrasi. Foto: Net.
Ilustrasi. Foto: Net.

HIDUP tanpa hukum adalah kerusakan. Hidup dengan hukum yang salah adalah kesengsaraan. Lebih jauh daripada itu, hidup di bawah intaian penegak hukum yang jahat adalah hilangnya separuh kehidupan.

Munculnya kasus Ferdy Sambo tidak dapat dipungkiri membelalak seluruh mata masyarakat. Kasus ini, yang diawali dengan penuh drama dan kebohongan, seolah menjadi jawaban atas keragu-raguan masyarakat terhadap kacaunya penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat yang semula hanya menduga-duga kini seakan menjadi yakin bahwa sedikit banyaknya memang ada yang salah dengan hukum di Indonesia.

Almarhum Brigadir J (Novriansyah Yosua Hutabarat) mungkin adalah pihak yang beruntung. Narasi atas kejahatan yang dilakukannya, yang tak pernah bisa dibuktikan itu, akhirnya terungkap. Dia sekarang dapat tenang di alam yang lain. Dia tidak lagi dikatakan sebagai terduga pelaku. Dia hanya dituduh. Atau dalam bahasa populer, dia hanya difitnah. Namanya yang semula hampir tercoreng saat ini sedikit demi sedikit bisa kembali diperbaiki.

Akan tetapi nasib baik itu tidak selalu jatuh pada semua orang. Bukan tidak mungkin di luar sana banyak sekali "Brigadir J, Brigadir J lainnya" yang kini telah wafat atau masih berada di balik jeruji besi harus dituduh bersalah atas sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.

Hanya karena dia polos. Hanya karena dia tidak mampu memperoleh pembela yang top. Ditambah lagi kasus yang dideritanya tidak memperoleh dukungan masyarakat. Dia terpaksa menuruti alur cerita yang membawanya pada ketidakadilan.

Padahal dalam filosofi penegakan hukum sudah jelas dikatakan “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

ADVERTISEMENT

Dengan penuh rasa hormat, dan atas nama Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke 77, Kemerdekaan Hukum untuk Menegakkan Keadilan harus segera diwujudkan. Karena itulah inti daripada semangat kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni penjajahan atas nama apapun, baik atas nama imperialisme, aneksasi, perang ataupun karena hukum, harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Membangun Kepercayaan pada Hakim

Dua hari setelah kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dirayakanlah hari kelahiran Mahkamah Agung Republik Indonesia. Makna yang hendak ditujukan pada saat itu adalah negara Indonesia ini bukan negara otoriter, bukan negara kerajaan, tetapi negara ini didirikan dengan komitmen untuk menjadi negara yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu ruang keadilan dibentuk berada di luar kekuasaan dan menjadi kekuasaan sendiri dengan sebutan kekuasaan kehakiman (Yudikatif).

Semangat kemerdekaan pada waktu selaras dengan pendapat Hannah Arendt. Menurut pendapat Arendt ruang kehakiman itu harus suci dari politik karena disitulah masyarakat berharap dan bertumpu atas nasibnya.

Namun di menjelang usia satu abad Mahkamah Agung ini para hakim masih terkunci pada mekanisme pembuktian model Civil Law. Pembuktian dengan metode pembuktian negatif. Pembuktian yang menekankan bahwa keyakinan hakim itu harus dibarengi pula dengan alat bukti sah dan dengan mengacu pada Surat Dakwaan sebagaimana disebutkan oleh undang-undang.

Hakim di negara Civil Law tidak bisa seleluasa seperti hakim di negara Common Law. Upaya menegakan prinsip hukum yang hidup masyarakat (living law), melakukan penemuan hukum (rexhtvinding), adalah keniscayaan. Yang dengan begitu, ketika skenario yang rumit dan telah disusun rapih oleh aparat penegak hukum lain dibawa ke meja hijau, Hakim cenderung mengikuti atau turut terkelabui.

Kemerdekaan hukum kita artinya belum menyeluruh. Belum memberikan kemerdekaan sepenuhnya bagi Hakim untuk menjadi pengawal keadilan. Hakim, dalam hal pembuktian, saat ini ternyata masih terpaku pada undang-undang yang kita tahu bahwa undang-undang itu merupakan produk politik.

Sistem Juri

Jika memang kemerdekaan hakim itu masih jauh untuk diwujudkan maka kita perlu alternatif lain. Alternatif itu adalah dengan mengadopsi sistem juri. Tujuan utamanya adalah agar setiap perkara itu nantinya diuji di pengadilan oleh dua pihak. Pihak resmi dari Pemerintah yang diwakili Jaksa serta Polisi dan pihak resmi dari masyarakat yang diwakili oleh Juri.

Menguji secara formil dan materiil ini sepintas mirip konsep dualisme keabsahan yang diutarakan oleh Norberto Bobbio, seorang ahli hukum Italia. Bobbio berpendapat jika keabsahan formil itu mesti berbarengan dengan keabsahan materiil. Barulah ketika keduanya berkesesuaian maka keabsahan itu bisa dikatakan paling mendekati keadilan.

Dengan konsep dualisme keabsahan nantinya Surat Dakwaan, alat bukti, dan fakta persidangan itu tidak hanya dimonopoli oleh satu pihak. Semua diuji bersama secara objektif oleh negara dan masyarakat untuk kemudian dijadikan dasar penilaian oleh hakim dalam memutuskan perkara. Posisi Juri tidak bisa disamakan dengan saksi ahli. Sebab Juri wajib didengarkan pendapatnya sementara Saksi Ahli bisa didengar ataupun tidak.

Penutup

Frederic Bastiat menilai masyarakat tidak akan bisa ada kecuali jika hukum, sampai batas-batas tertentu, tetap dihormati. Cara terbaik untuk membuat hukum tetap dihormati adalah dengan menjadikan hukum sebagai sesuatu yang terhormat.

Oleh sebab itu, manakala hukum yang sakral nan mulia dan moralitas bertentangan satu sama lain, baik itu moralitas dalam undang-undang maupun moralitas penegakan hukumnya, masyarakat nantinya akan dihadapkan pada pilihan pahit: kehilangan cita rasa moral mereka atau kehilangan penghormatan mereka kepada hukum.

| Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.