Ekonom Rizal Ramli menilai Pemerintah Indonesia sekadar menghembuskan angin surga saat menyebut perekonomian nasional 2021 bakal mengalami tren positif hingga 5,5 persen. Prediksi pertumbuhan ini dinilai Rizal tidak realistis.
- Turki Temukan Ladang Gas Alam Baru di Laut Hitam
- Pertamina Salurkan 4.800 Tabung Elpiji Baru, Jauh di Bawah Permintaan Hiswana Migas
- Kembalinya Firefly ke Aceh, Momentum Bangkitnya Ekonomi Masyarakat
Baca Juga
“Sebab, angka-angka tersebut tidak memiliki basis data yang kuat,” kata Rizal dalam diskusi daring Pergerakan Indonesia Maju (PIM) bertajuk "Outlook 2021: National Economic Outlook", Kamis, 14 Januari 2021.
Sebelum Covid-19, kata Rizal, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,1 persen. Rizal mengatakan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi di masa Covid-19 tumbuh 5,5 persen. Rizal mengatakan daya beli rakyat saat ini betul-betul hancur. Hal ini disebabkan langkanya peluang kerja.
"Tapi yang paling penting adalah daya likuiditas yang ada pada masyarakat disedot. Karena Pemerintah ngutang udah terlalu banyak. Artinya apa? Hanya untuk membayar bunga saja harus meminjam, makin lama makin berat," tuturnya.
Rizal mengatakan nilai Surat Utang Negara terus bertambah besar. Akhirnya, uang yang beredar di lembaga keuangan tersedot untuk membeli SUN karena tingkat bunga SUN 2 persen lebih tinggi dari request itu.
Suramnya kondisi perekonomian nasional 2021 juga diprediksi oleh Managing Director PEPS, Anthony Budiawan. "Outlook 2021 suram.”
Anthony mengatakan defisit meningkat tajam dan akhirnya rasio utang meningkat tajam. Defisit anggaran 2020, 2021, 2022: Rp 1.000 triliun lebih membuat ketahanan fiskal Indonesia rapuh.
Anthony mengatakan rasio pendapatan negara hanya berkisar pada angka 10,6 persen di tahun 2020. Kemudian rasio penerimaan pajak sebesar 8,3 persen dan rasio beban bunga 2,3 persen. Jika beban bunganya itu 2,3 persen, anggaran untuk belanja negara menjadi sangat sedikit.
Anthony juga mengungkapkan bahwa rasio utang pemerintah naik dari 24 persen menjadi 39 persen di tahun 2020. Dia memperkirakan pada 2022 mendatang , jumlahnya mencapai 55 persen bahkan mendekati batas UU, yakni 60 persen.
“Kenaikan juga terjadi pada rasio beban bunga dari 1,2 persen menjadi 2,3 persen di tahun 2020,” kata Anthony.
Dengan pendapatan negara 10,6 persen, dan 2,3 persennya untuk membayar bunga, maka perekonomian Indonesia dinilai Anthony sudah tidak sehat. Pemerintah, kata dia, harus melakukan restrukturisasi di dalam nilai fiskal.
Pada 2020 kemarin, kata Anthony, pendapatan negara hanya Rp 1.633,6 triliun. Rasio pendapatan negara 10,6 persen, dan belanja negara Rp 2.589, naik Rp 279 triliun. Lalu defisit anggaran Rp 956,3 triliun. Utang Rp 1.226,8 triliun (naik Rp 789 triliun). Lebih: Rp 270,5 triliun.
“Pandangan saya, ke depannya ini kita masih defisit 1.000 triliun," kata Anthony.
- Tetapkan Harga TBS, Distanbun Aceh Belum Memastikan Sanksi Bagi PKS Nakal
- Kopi Nusantara Tercium Hingga ke Mesir
- Aceh Perlu Tata Ulang Struktur Ekonomi agar Bisnis Berjalan Baik