Pemerintah Jokowi Amblas Ditelan Perubahan Iklim

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

SRI Mulyani, Menteri Keuangan, belum lama ini pernah mengemukan bahwa dampak agenda perubahan iklim atau climate change akan lebih ganas dari Covid 19 terhadap perekonomian. Tampaknya Sri Mulyani telah mengetahui dan mendengar banyak bisikan terkait masalah ini. 

Bayangkan saja, menghadapi pandemi Covid-19 ini saja Indonesia sesak nafas alias sekarat. Bagaimana lagi dengan isu perubahan iklim yang agendanya harus dilaksanakan secara cepat?

Sri Mulyani memang benar dalam melihat masalah ini. Namun tindakannya selaku menteri keuangan tidak sesuai dengan kekhawatirannya. Sebagai contoh, Inonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil.

Dukungan APBN dalam pengembangan energi baru terbarukan juga minim. Sampai saat ini menteri keuangan masih memajaki dan menerapkan pungutan berat kepada pembangkit listrik tenaga air yang menjadi menghasilkan listrik tanpa bahan bakar fosil alih-alih melindungi PLN dan mendorong perusahaan itu bersiap menghadapi gempuran pihak luar. 

Bahkan sejak Presiden Jokowi menandatangani perjanjian iklim tahun 2016 lalu di Prancis (COP 21), tak ada tanda-tanda Indonesia bergerak untuk membangun secara masif fasilitas energi baru terbarukan. Pengembangan energi ini jalan di tempat atau bahkan tidak berkembang sama sekali. 

Sebalikmya kebijakan energi Indonesia disandera oleh bandar energi fosil, khususnya batubara. Mereka mengendalikan kementerian terkait. Kebijakan menteri keuangan pun tak berubah karena masih menyadarkan keuangan negara pada pajak fosil minyak dan batubara. 

Maka terjadillah simbiosis mutualisme antara para perusak hutan; touke sawit, batubara dan tambang, dengan pemerintah. Konglomerat yang melahap hutan dan tambang inilah yang menopang oligarki.

Sementara banyak pihak pengusaha trauma dengan EBT. Selama ini proyek EBT hanya sebatas proyek menghabis habiskan waktu secara sia sia. Tidak ada pencapaian. Tidak ada dukungan pemerintah pada masalah ini. Pemerintah sendiri hanya beroerientasi pada proyek proyek EBT yang didanai asing. 

Akhirnya tidak banyak pengusaha yang paham keadaan ini menaruh minat dalam penelitian dan pengembangan EBT. Sikap trauma juga menghinggapi para peneliti dan akademisi yang peduli masalah ini.

Trauma, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani; atau luka berat. 

Sementara kementerian dan lembaga menunjukkan sikap apriori. Apriori, masih menurut kamus yang sama, berarti berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya.

Mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang memberi sanksi kepada Indonesia jika tidak menjalankan agenda transisi energi melalui EBT. "Kalau tidak dilaksanakan memang kenapa?" Mungkin karena kebiasaan sering menebar janji palsu di dalam negeri, sikap itu terbawa pula dalam pergaulan internasional. 

Presiden Jokoko harus ingat bahwa dia sudah menandatangi perjanjian iklim. Perjanjian ini sudah diratifikasi oleh DPR menjadi UU. Jadi apakah mereka mau mempermalukan presiden di COP 26 di Glasgow sebentar lagi ya?

Sementara Menkeu Sri Mulyani tau bahwa tahun tahun mendatang tidak akan ada utang luar negeri ke depan jika kebijakan keuangan negara masih bersandar pada konglomerasi fosil. 

Kedepan bank dan lembaga keuangan internasional telah dilarang membiayai energi fosil. Pajak dalam rangka perdagangan internasional akan dipungut samgat besar. 

Tahun 2030, jika Indonesia berdagang dengan Uni Eropa, maka pengguna energi fosil akan dikenakan pajak sampai USD 250 per ton karbon yang dikonsumsi. Ini yang disebut oleh Sri Mulyani bahwa climate change lebih berat dari Covid-19. Andai negara lain memberi insentif pajak dan keuangan serta Insentif moneter dalam rangka meningkatkan penggunaan EBT. 

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga terus memanjakan badar-bandar batubara, bandar sawit dan pelahap hutan lainnya serta pembangkit listrik berbahan bakar fosil batubara. Padahal Menteri keuangan adalah Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang bisa memanggil BI dan OJK. Namun tidak dilakukan.  

Seluruh kebijakan moneter, keuangan dan kebijakan sektoral di bidang energi Indonesia, akan membuat pemerintahan ini diisolasi pascapenyelenggaraan Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow, 31 Oktober hingga 12 November 2021.

Mengapa? Indonesia sikap dan perkataan berbeda. Lain di mulut lain di hati. Lain perkataan lain perbuatan. Tanda tangan perjanjian tapi tak dikerjakan. Anda lebih paham menamai tindakan itu apa.

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)