Pemerintahan Jokowi Gagal Atasi Kemiskinan

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

TINGKAT kemiskinan per September 2022 sebesar 9,57 persen atau 26,36 juta penduduk, naik 0,35 persen dibandingkan 3 tahun sebelumnya, September 2019, dengan tingkat kemiskinan 9,22 persen atau 24,75 juta penduduk.

Yang lebih mengenaskan, tingkat kemiskinan selama delapan tahun pemerintahan Jokowi hanya turun 1,39 persen saja! Tingkat kemiskinan per September 2014 sebesar 10,96 persen, versus 9,57 persen per September 2022. Sungguh malang nasib rakyat miskin Indonesia!

Data tingkat kemiskinan tersebut jelas menunjukkan pemerintah sudah gagal mengentaskan kemiskinan. Jangankan mengentaskan, sekedar mengurangi kemiskinan, dengan jumlah yang masuk akal, juga gagal.

Secara internasional, di antara negara-negara ASEAN-4, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam, kegagalan Indonesia dalam mengatasi kemiskinan semakin nyata.

Menurut garis kemiskinan internasional, dengan pendapatan di bawah 3,65 dolar AS per orang per hari, (kurs 2017 PPP), atau sekitar Rp591.033 per bulan, kemiskinan Indonesia pada 2021 mencapai 22,4 persen.

Sedangkan kemiskinan Malaysia dengan garis kemiskinan yang sama hanya 0,4 persen pada 2015. Artinya, tingkat kemiskinan Malaysia saat ini kemungkinan besar sudah nol. Sedangkan kemiskinan Thailand dengan garis kemiskinan yang sama juga sangat rendah, hanya 0,7 persen pada 2020.

Vietnam yang baru menata kembali ekonominya pada 1986, setelah perang berkepanjangan dengan Perancis dan Amerika Serikat (1946-1954, 1954-1975), kemudian dengan China (1979-1991), hanya mempunyai tingkat kemiskinan 5,3 persen pada 2018. Saat ini tingkat kemiskinan Vietnam tersebut pasti sudah jauh lebih rendah lagi.

Data yang disajikan Bank Dunia tersebut sangat jelas menunjukkan pemerintahan Jokowi gagal mengatasi kemiskinan.

Padahal, tahun 2022 yang lalu merupakan kesempatan sangat langka bagi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Karena pendapatan negara pada 2022 naik drastis akibat kenaikan harga komoditas. Realisasi pendapatan negara 2022 naik Rp623 triliun (31,1 persen) terhadap 2021, dan lebih tinggi Rp780 triliun (42,3 persen) dari yang dianggarkan di dalam APBN 2022.

Ternyata, pemerintah gagal memanfaatkan kenaikan pendapatan ini untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Entah tidak mampu atau tidak mau.

Tetapi, apapun alasannya, masyarakat melihat telah terjadi proses pemiskinan, yang membuat angka kemiskinan naik 0,03 persen atau 200 ribu penduduk selama periode Maret 2022 hingga September 2022.

Penyebab utama kenaikan kemiskinan ini, sebagai berikut. Pertama, kenaikan pajak (PPN) pada 1 April 2022, yang membuat harga barang-barang konsumsi naik.

Kedua,  kenaikan harga komoditas pangan dan inflasi global. Salah satunya harga minyak goreng yang melonjak tajam, bahkan sempat langka akibat korupsi izin ekspor, yang pelakunya hanya dihukum sangat ringan, padahal kelangkaan minyak goreng sempat memakan dua korban jiwa antrian minyak goreng yang “meng-ular”.

Ketiga, kenaikan harga BBM pertalite dan solar pada 3 September 2022, dengan alasan APBN akan jebol karena subsidi BBM, yang kemudian dikoreksi menjadi subsidi energi, mencapai Rp502 triliun, yang kemudian dipropagandakan akan naik lagi menjadi Rp700 triliun, akibat kenaikan konsumsi BBM.

Ternyata, semua alasan ini tidak benar, tidak terbukti, atau bohong. Faktanya, realisasi subsidi BBM dan LPG 3 Kg untuk tahun 2022 ternyata hanya Rp115,6 triliun saja. Bahkan subsidi listrik 2022 turun 0,64 persen dibandingkan 2021, akibat kenaikan tarif listrik.

Terakhir, keempat, yang tidak kalah fatalnya, realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464 triliun, jauh di bawah defisit yang dianggarkan sebesar Rp868 triliun. Selisih Rp404 triliun!

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai ruang gerak fiskal sangat besar untuk menekan tingkat kemiskinan.

Misalnya, kenaikan harga BBM pada 3 September 2022 diperkirakan hanya mengurangi subsidi BBM sekitar Rp32 triliun saja. Angka ini sangat tidak signifikan dibandingkan kenaikan pendapatan negara maupun ruang gerak defisit anggaran yang masih sangat besar, yaitu Rp404 triliun. Tetapi, dampak kenaikan harga BBM ini sangat fatal, tingkat kemiskinan naik.

Membiarkan realisasi defisit APBN jauh di bawah yang dianggarkan, tetapi di saat bersamaan mengakibatkan tingkat kemiskinan meningkat, dapat masuk kategori kejahatan kemanusiaan.

Apa gunanya APBN yang sudah disetujui oleh DPR kalau realisasinya jauh melenceng dari rancangan, yang berakibat fatal bagi kepentingan rakyat? Bukankah APBN dirancang untuk kepentingan rakyat banyak?

Maka itu, DPR seharusnya memanggil Menteri Keuangan dan Presiden untuk minta penjelasan terkait realisasi defisit APBN yang jauh melenceng tersebut. Di mana peran DPR? Apa gunanya DPR?

Semua ini terkesan ada pembiaran dan kesengajaan pemiskinan.

| Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).