Pemilu yang Menyenangkan

Ilustrasi. Foto: RMOL.
Ilustrasi. Foto: RMOL.

TEPAT 14 Juni 2022, tahapan Pemilu 2024 telah resmi dilaksanakan. KPU pun sudah merilis PKPU No 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Tanggal 14 Juni 2022 dipilih sebagai tanggal dimulainya tahapan Pemilu. Itu artinya Pemilu sebentar lagi. Kurang dari 1,5 tahun, bangsa ini akan dihadapkan lagi pada Pemilu dan Pilkada 2024.

Meski banyak drama, akhirnya KPU dan Pemerintah sepakat bahwa Pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024 pada tanggal 14 Februari. Ada kelegaan secara politik bagi masyarakat  dan tentu saja pegiat demokrasi yang “puas”, karena pemerintah tidak jadi mengamandemen  UUD 1945 hanya untuk kepentingan “perpanjangan kekuasaan”.

Wacana Pemilu ditunda pun turut selesai. Ditambah keluarnya PKPU No 3 Tahun 2022, polemik presiden tiga periode dan sebagainya, gugur dengan sendirinya.

Itu berarti polemik soal maju-mundurnya Pemilu 2024, khususnya Pemilihan Presiden-Wakil Presiden sudah selesai. Tidak boleh ada lagi isu-isu yang muncul soal penundaan Pemilu. Jikapun ada kelompok model begitu, kita berharap mereka cepat ditindak aparat.

Pemilu 2024 harus lebih “asyik dan menarik”. Sebab, selama ini Pemilu sering diidentikkan dengan hal-hal yang berbau negatif, serius bahkan terkesan angker. Padahal, Pemilu hanyalah sebuah cara mengganti pemerintahan. Dari satu kelompok berkuasa, kepada kelompok lainnya.

Pemilu juga metode untuk memperjuangkan cita-cita bangsa yang dititipkan kepada wakil-wakilnya di pemerintahan, baik eksekutif dan legislatif. Jadi, Pemilu bukanlah segala-galanya tetapi segala urusan bangsa diatur lebih dahulu melalui pemilu.

Singkatnya, Pemilu dianggap penting ya memang penting. Dianggap tidak terlalu penting (karena banyak kecewa) juga sangat diwajarkan. Lihat saja jumlah golput yang cukup tinggi.

Itu tandanya lebih banyak yang memilih untuk tidak menggunakan haknya pada saat Pemilu. Persoalan ini tentu harus dijawab oleh pemerintah dan juga penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu.

Bangsa ini merindukan suasana politik yang teduh. Tidak keruh dan saling berhadap-hadapan. Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, hanya karena pilihan politik berbeda, keluarga jadi terpecah. Karena partai yang didukung kalah, silaturahmi jadi tidak tersambung lagi. Kondisi itu benar-benar terjadi di masyarakat.  Kita berharap hal itu tidak lagi terjadi di 2024.

Pemilu 2024 yang “asyik dan mengasyikkan” adalah harapan. Agar harapan itu terwujud, penyelenggara Pemilu diharapkan membaca tanda-tanda zaman yang hidup dan bergerak di tengah-tengah rakyat.

Program-program yang dijalankan oleh KPU dan Bawaslu mesti ada terobosan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu contohnya ialah bagaimana penyelenggara Pemilu memanfaatkan teknologi metaverse dan game online untuk melakukan sosialisasi Pemilu kepada masyarakat, khususnya di kalangan pemilih pemula.

Jadi, program sosialisasi yang KPU dan Bawaslu lakukan tepat sasaran. Tidak perlu lagi komisioner KPU mendatangi kelompok milineal dengan cara-cara  era kolonial.

Semangat zaman inilah yang harus dikedepankan oleh KPU Pusat yang kemudian ditopang dengan peraturan serta anggaran yang mendukungnya.

Selain memanfaatkan teknologi yang kian canggih, Pemilu 2024 juga harus menjadi event 5 tahunan rakyat untuk merasakan kebahagiaannya sebagai warga Indonesia.

Kita berharap, partai sebagai peserta Pemilu memberikan hiburan dengan berbagai pertunjukkan kesenian dan kebudayaan rakyat. Menghadirkan artis-artis dan tokoh masyarakat yang bisa memberikan pencerahan ditengah kesulitan hidup yang mereka hadapi saat menontonnya.

KPU dan Bawaslu bisa memberikan porsi untuk menghibur masyarakat dengan datangnya pemilu ini. Syaratnya, berbagai peraturan yang ketat ditambah dengan adanya larangan yang tidak lagi sesuai dengan konteks zaman, harus segera dikoreksi. Tujuannya agar Pemilu 2024 menjadi pestanya seluruh rakyat bersama dengan wakil mereka di partai.

Belajar dari sejarah kepemiluan, Pemilu yang “asyik dan mengasyikkan” bukanlah sebuah gagasan utopis. Sebab, kita sudah memiliki sejarah panjang Pemilu, khususnya tahun 1955.

Pemilu pertama kali ini sejak Indonesia merdeka, terbukti menjadi pemilu yang paling demokratis serta memiliki semangat kreativitas yang tinggi. Tahun 1955, Pemilu saat itu bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya, Pemilu adalah ajang partai dan calon anggota dewan mencari simpatik dan turun bersama-sama rakyat di dapilnya.

Berbagai keseniaan daerah ditampilkan. Mulai dari reog, wayang dan tari-tarian. Tidak saja politisi dan aktivis pergerakan yang turut hadir memeriahkan Pemilu dan kampanye, tetapi seniman, pengusaha, ibu rumah tangga hingga anak kecil turut serta memeriahkan Pemilu, karena begitu riangnya pesta demokrasi kala itu. Tidak ada suasana permusuhan. Justru sebaliknya, Pemilu makin merekatkan persatuan, rasa nasionalisme dan kesatuan bangsa saat itu.

Kita berharap, KPU dan Bawaslu Pusat bersinergi menciptakan kondisi pemilu yang “asyik dan mengasyikkan”. Bukan seperti yang sudah-sudah. Dimana rakyat ketika mendengar kata Pemilu, yang terbayang langsung terjadi chaos, perpecahan, intimidasi dan saling serang. Pandangan itu sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.

Pemilu 2024 hanyalah momentum pergantian kekuasaan semata. Di atas itu, kesatuan serta persatuan bangsa tidak boleh terpecah belah apapun alasannya. Karena itu, menghadirkan pemilu yang menyenangkan dengan jutaan senyum, haruslah sama-sama kita ciptakan. Semoga! 

| Penulis adalah Fungsionaris Majelis Nasional KAHMI.