Pengacara Minta Hakim Praperadilan Bebaskan Ahmad Yaniarsyah

Sidang Praperadilan Ahmad Yaniarsyah Hasan. Foto: ist.
Sidang Praperadilan Ahmad Yaniarsyah Hasan. Foto: ist.

Penasehat hukum Ahmad Yaniarsyah Hasan (AYH), J Kamal Farza, mengatakan penetapan status tersangka dan penahanan terhadap kliennya bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan oleh KUHAP. Kamal menilai tindakan itu tergesa-gesa, dipaksakan, dan eksesif menggunakan rambu hukum yang ada. 


“Karena itu, hari ini, kami menguji di hadapan yang mulia majelis hakim. Apakah penetapan dan penahanan tersangka seperti yang dilakukan oleh jaksa seperti itu dapat dibenarkan secara hukum?” kata Kamal, Senin 18 Oktober 2021.

Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan AYH sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan (PD PDE Sumsel) Tahun 2010-2019. Selain AYH, kejaksaan juga menahan Direktur Utama PD PDE Sumsel tahun 2008, Caca Isa Saleh S.

Selain Kamal, sejumlah pengacara mendampingi AYH. Mereka adalah Hasan Madani, Aristo Yanuarius Seda, Mahmuddin, dan Ifdhal Kasim. Mereka mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan klien mereka sebagai tersangka dan penahanan.

Kamal mengatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tegas dan jelas menentukan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. Dasar pertimbangannya adalah penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan dan perampasan terhadap hak asasi manusia. 

Maka, kata Kamal, seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik adalah objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Kamal juga mengatakan putusan MK tersebut menjamin seorang warga negara tidak dapat diperlakukan semana-mena.

Permohonan praperadilan terhadap AYH, kata Kamal, juga bertujuan menguji keabsahan penggunaan wewenang yang digunakan penyidik dalam menetapkan dan melakukan penahanan. Dia mengatakan lembaga praperadilan juga menjadi tempat warga negara menguji keabsahan penetapan tersangka dan penahanan yang berindikasi pelanggaran hak asasi manusia

Kamal menjelaskan bahwa hubungan AYH dengan PD Sumsel hanya sebatas bisnis. AYH adalah pengusaha yang membangun usaha patungan dengan BUMD dalam badan hukum yang legal dan sah. Dalam kerja sama patungan tersebut, kata Kamal, pihak swasta menggunakan uang dari modal sendiri bukan uang negara; membeli dan menjual secara sah. 

“Bagaimana mungkin kemudian beliau ditetapkan sebagai tersangka melakukan korupsi dan ditahan pula? Ini preseden buruk bagi dunia bisnis di Indonesia,” kata Kamal.

Kamal menilai penahanan terhadap kliennya adalah tindakan berlebihan. Apalagi AYH bersikap kooperatif dalam pemeriksaan. Kliennya juga tidak memiliki akses apapun terhadap perusahaan itu. Hal ini tentu menimbulkan kerugian besar bagi AYH baik secara materiil maupun immaterial.

Lewat proses praperadilan ini, kata Kamal, para pengacara meminta status tersangka terhadap klien mereka dinyatakan tidak sah dan meminta penyidik menghentikan proses hukum terhadap AYH. 

Kamal juga meminta praperadilan menyatakan penahanan terhadap AYH tidak sah dan meminta praperadilan membebaskan AYH. Kamal juga meminta hakim menghukum termohon untuk membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp 25 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp 500 juta.

“Kami juga meminta rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum pemohon sesuai dengan harkat dan martabat klien kami. Kami berharap hakim memberikan putusan seadil-adilnya,” kata Kamal.