Pengamat: Melihat Kecenderungan Partai Berkuasa, Pilkada Aceh Bakal Digelar 2024

Saifuddin Bantasyam. Foto: ist.
Saifuddin Bantasyam. Foto: ist.

Pengamat politik dan hukum Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam, mengungkapkan dua kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah Aceh. Perhelatan ini akan dilaksanakan sesuai keinginan elit Aceh: pada 2022, atau mengikuti keinginan Pemerintah Indonesia pada 2024.


Dua hal ini, kata Saifuddin, tergantung pada pengesahan Undang-Undang Pemilu terkait pilkada serentak. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kehendak partai politik di parlemen. Saifuddin mengatakan undang-undang adalah representasi keinginan partai politik di parlemen. 

“Setahu saya, kebanyakan parpol di parlemen ingin 2022. Namun ada informasi bahwa PDI-P dan beberapa parpol lain menginginkan 2024," kata Saifuddin Bantasyam di Banda Aceh, Sabtu, 23 Januari 2022.

Bagi Saifuddin, persamaan dan perbedaan merupakan hal yang wajar dalam politik. Keduanya sama-sama memikirkan momentum. Hanya saja, kata Saifuddin, saat ini PDI-P merupakan partai yang berkuasa di Senayan.

Jika mengikuti kenyataan ini, maka besar kemungkinan Pilkada Aceh akan ditunda dari 2022 menjadi 2024. Namun, kata Saifuddin, Aceh harus tetap menganggap pilkada itu dilaksanakan pada 2022, dan Undang-Undang Pemerintah Aceh menyebut pemilihan kepala daerah dilaksanakan setiap 5 tahun. 

Hal ini, kata Saifuddin berpotensi bagus bagi semua pihak, kecuali jika kemudian UU Pemilu menentukan lain. "Namun saya khawatir, jangan-jangan Pemerintah Pusat, DPR-RI, dan KPU tidak melihat ritual lima tahunan dalam UUPA itu sebagai suatu lex specialist, bukan suatu kekhususan," kata Saifuddin.

Saifuddin mengatakan kesapakatan antara Pemerintah Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan Komisi Independen Pemilihan, yang ditunjukkan dalam seminggu belakangan ini, adalah modal penting untuk melobi Jakarta. Langkah ini, kata Saifuddin, dapat meyakinkan Kementerian Dalam Negeri dan DPR-RI untuk melaksanakan pilkada di Aceh pada 2022. 

"Bicara DPR-RI berarti bicara parpol, bicara elite-elite parpol. Jadi, ya harus ada lobi kepada mereka," sebutnya.

Menurut Saifuddin, pesan dalam lobi dengan Kemendagri dan dengan parpol itu harus beda. Untuk Kemendagri harus disampaikan bahwa penyelenggaraan pilkada 2022 itu bagian dari penghormatan terhadap hak orang Aceh, bagian dari upaya menjaga keamanan daerah, dan bagian dari upaya menghilangkan kekecewaan parpol yang ada di Aceh. 

Sedangkan untuk elite parpol, kata Saifuddin, harus disodorkan secara hitam-putih keuntungan yang didapatkan parpol jika pilkada diselenggarakan 2022. "Bilang saja, tak ada kerugian sama sekali. Yang ada adalah untung dan untung," kata Saifuddin. 

Saifuddin juga menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara pilkada yang diatur dalam UUPA dengan yang diatur dalam UU lainnya. Tetap lima tahun dengan proses atau tahapan yang sama seluruh Indonesia. Demikian juga dalam hal pencalonan dan kampanye, semua sama. 

Namun khusus Aceh, kata Saifuddin, hanya nama penyelenggara berbeda. Namun KIP Aceh tetap harus berkoordinasi dengan KPU Pusat, termasuk tentang penyelenggaraan pilkada serentak 2022. 

"Saya sendiri berharap KPU memahami keinginan Aceh, dan jangan sampai diintervensi oleh kepentingan politik kelompok tertentu, serta intervensi mana saja yang sarat kepentingan politik praktis," kata Saifuddin.