Pengamat Nilai Legalitas Produksi Miras Tidak Didukung Modal Sosial

Ilustrasi: 123rf.
Ilustrasi: 123rf.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Karim Suryadi, mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang diteken Presiden Joko Widodo, dinilai tak elok. 


"Menurut saya blunder, meskipun saya bukan ahli ekonomi tetapi saya meragukan dampak Perpres miras terhadap ekonomi. Nah Perpres Miras ini mengancam kondusivitas masyarakat," kata Karim, Senin, 1 Maret 2021.

Peraturan Presiden ini merupakan bagian bagian dari pelaksanaan dari UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Namun Perpres tersebut akan menimbulkan penolakan dari masyarakat dan berpotensi pada timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Jika Kamtibmas terganggu, kata Karim, para investor tidak akan masuk. Sebab pada prinsipnya investor akan datang apabila situasi tetap kondusif.

Karim menilai, legalitas produksi miras tidak didukung oleh modal sosial, meskipun diberlakukan di provinsi yang mayoritas masyarakat non-muslim yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Ia menyebut masyarakat manapun akan menolak terjadi mabuk-mabukan di muka umum.

"Meski mereka (masyarakat) tahu bahwa itu (legalitas miras) dibolehkan nantinya juga akan melihat seberapa jauh maslahatnya bagi kepentingan publik," Karim.

Kendati begitu, ia tak menampik bahwa terdapat masyarakat yang menoleransi kebiasaan mengomsumsi miras jika dilangsungkan di ruang privat. 

Karim menambahkan, Perpres tersebut menabrak fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan miras. Jika suatu hal yang sebelumnya diharamkan tetapi saat ini justru dilegalkan, ke depannya akan terdapat banyak larangan-larangan yang bisa dilawan oleh negara.

"Hal tersebut akan menjadi preseden bahwa barang dan jasa yang diharamkan demi alasan ekonomi bisa-bisa dibuka atau diiventasikan," tandasnya.

Sementara Gubernur Bali I Wayan Koster mengklaim bahwa Perpres tersebut sejalan dengan nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Bali. Dia mengatakan masyarakat Bali memberi apresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada pemerintah pusat, yang telah mengeluarkan terobosan kebijakan baru tersebut. 

Wayan Koster mengatakan bahwa sejumlah wilayah di Bali secara alamiah dianugerahi dengan tumbuhnya pohon kelapa, enau (jaka), dan rontal (ental) yang secara tradisional dapat menghasilkan tuak sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.

Koster menjelaskan tradisi mengolah minuman beralkohol telah berlangsung secara turun-temurun di Bali.  Masyarakat setempat telah mampu mengolah Tuak secara tradisional menjadi arak dan gula Bali. Bahkan, kata Wayan, arak telah menjadi minuman yang biasa dikonsumsi secara rutin oleh masyarakat Bali.

Berdasarkan pengetahuan dan tradisi tersebut, arak Bali tidak saja dapat dimanfaatkan untuk minuman yang menyehatkan sehari-hari bagi masyarakat Bali, tetapi bisa dikembangkan menjadi industri minuman khas Bali berkelas dunia seperti sake di Jepang, Soju di Korea, Wiskey di Eropa, Votka di Finlandia, Vodka di Rusia, dan Teuqilla di Mexico.

“Ini sangat tepat bagi Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, sehingga akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Bali,” kata Koster.

Wayan menambahkan, Perpres Investasi Minol sejalan dengan Peraturan Gubernur Bali 1/2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali yang telah menjadi regulasi daerah sebelumnya.

Menurut Koster, dengan diberlakukan regulasi ini, maka kelembagaan dan distribusi minuman beralkohol bisa ditata dan dikontrol, sehingga tidak terjadi pemanfaatan dan penyalahgunaan secara bebas.