Pengamat Nilai Pernyataan Kemendagri tentang Pilkada Aceh Dalam UUPA Tidak Tepat

Mawardi Ismail. Foto: USK
Mawardi Ismail. Foto: USK

Pengamat hukum dan politik, Mawardi Ismail, menilai keterangan Kemendagri tentang kewenangan Undang-Undang Pemerintah Aceh mengatur Pilkada tidak tepat. Karena hal tersebut diatur dalam pasal 65 yang mengatur pemilihan kepala daerah. 


"Pada bab itu, disana memamg tidak menjelaskan jadwal tahunnya. Tapi dinyatakan setiap lima tahun sekali," kata Mawardi Ismail kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 8 Februari 2021. 

Menurut Mawardi, Pilkada harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal itu sudah diatur dalam UUPA. Di sisi lain, kata Mawardi, pemerintah pusat ingin melaksanakan Pilkada serentak 2024. Dan hal itu diatur dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2016. Pasal itu, kata dia, yang merubah ketentuan dari UU nomor 1 tahun 2015. 

"Apakah ketentuan dari ayat 21, ayat 8 dari UU itu berlaku untuk Aceh ? Kalau mengacu pada pasal 199, dari UU nomor 1 tahun 2015, disitu disebutkan bahwa ketentuan tersebut berlaku untuk Aceh sepanjang tidak diatur dalam UU tersendiri," kata Mawardi. 

Mawardi mengatakan penundaan Pilkada bukan barang baru di Aceh. Pada 2012 lalu, kata Effendi, Pilkada Aceh pernah ditunda karena beberapa waktu menjelang pilkada, partai lokal belum mendaftar ke KIP Aceh.

Pemerintah menganggap tanpa keikutsertaan partai lokal Pilkada di Aceh kurang berarti. Oleh karenanya, melalui putusan sela Mahkamah Konstitusi, diperintahkan untuk memperpanjang masa pendaftaran. 

Konsekuensinya, kata Mawardi, perlu ada penjabat sementara Gubernur. Kala itu dijabat oleh Tarmizi Karim. Menurut Mawardi, jika cukup alasan untuk menunda pilkada, tidak ada salahnya untuk mengikuti aturan itu. Namun hingga saat ini, pemerintah pusat belum mengeluarkan kebijakan jelas bahwa Aceh harus melaksanakan pilkada pada 2024. 

Penundaan Pilkada Aceh oleh pemerintah pusat bukan hal yang tidak mungkin. Namun Mawardi mengingatkan agar penundaan tersebut dilakukan secara konstitusional, yaitu dengan mengubah pasal 65 UUPA. Perubahan itu, kata Mawardi, dapat dilakukan dengan Perpu dan UU. Tetapi, perubahan UU itu harus dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh. 

Menurut Mawardi, Aceh masih sangat terbuka lebar untuk melakukan Pilkada 2022. Pihak pihak yang berwenang-berwenang dalam soal Pilkada, kata dia, harus intensif melakukan koordinasi dengan KPU, DPR-RI, dan Mendagri. "Tidak perlu dengan cara konfrontatif," kata Mawardi.