Pengamat Pesimis Kenaikan UMP Buruh di Aceh akan Berjalan Baik 

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Taufiq A Rahim, menyebutkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh menjadi Rp 3.413.666 atau naik sebesar 7,8 persen pada tahun 2023 dinilai tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.


"Selama ini para tenaga kerja ataupun buruh tidak menerima upah sebagaimana mestinya," kata Taufiq kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 28 November 2022.

Menurut Taufiq, keputusan pemerintah menaikkan tingkat upah ini dikhawatirkan tidak akan dipatuhi di lapangan terhadap tenaga kerja ataupun buruh. 

Sebab aktivitas produksi usaha swasta, penetapan atau penentuan kenaikan upah yang dilakukan oleh pemerintah, belum tentu dipatuhi serta dipahami, karena akan menaikkan tingkat produksi ataupun memperluas (ekspansi dan diversifikasi) produksi usaha swasta.

"Karena kenaikan tingkat upah yang ditentukan oleh Pemerintah Aceh, ini merupakan beban biaya (costs of production) dan menjadikan konsekuensi multiplier effect harga barang mesti dinaikkan," ujar Taufik 

Sementara itu, pada kondisi harga barang ataupun jasa saat ini, sangat sulit terjual atau dibeli oleh konsumen. Selain itu kondisi ekonominya sangat lemah serta lesu atau purchasing power parity (daya beli) di pasar lemah atau rendah, juga peredaran uang rendah. 

"Apa yang diharapkan atau diasumsikan oleh pemerintah, tidak berdasarkan analisis akademik dan tidak memahami praktik keseimbangan pasar dan perilaku pasar secara ril," ujar Taufik.

Menurut Taufik kondisi ril ekonomi Aceh tidak stabil dan iklim ekonomi yang tidak sehat. Ketidakstabilan ini juga karena adanya ketidakseimbangan pasar, baik mikro maupun makro ekonomi yang berlaku secara ril.

Taufik mengatakan, upah buruh atau pekerja juga tidak dibayar sesuai dengan UMP, hal ini juga dipahami oleh usaha swasta. Namun tidak ada sangsi. Konon pula saat ini sedang kondisi ekonomi tidak dalam baik-baik saja.

"Jika ingin dikenakan sangsi, swasta juga memiliki cara dalam perhitungan produksi barang maupun jasa," ujarnya.

Lebih lanjut Taufik mengatakan usaha meningkatkan produktivitas untuk memacu pertumbuhan ekonomi tidak mudah. Dalam pergerakan aktivitas ekonomi serta “circular flow of economic and bussiness” saat ini baik masyarakat (house hold) maupun usaha swasta (firm) sedang menghadapi beban berat ekonomi.

"Bahkan diperkirakan pada tahun 2023 akan terjadi krisis global serta nasional, termasuk dalam pengelolaan energi dan sumber daya alam (resources)," katanya.

Karena itu, Aceh yang merupakan bahagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan masyarakat dunia secara ekonomi dan politik rasional serta realistis, sebaiknya harus lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan dan keputusan terkait UMP yang belum tentu dipatuhi oleh usaha swasta.

"Hal ini disebabkan ada perhitungan serta analisis ekonomi atau produksi, biaya (costs) dan proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa tidak semudah yang dinyatakan,' ujarnya.

Selain itu faktor produksi ekonomi (modal, tenaga kerja, sumber daya alam dan kewirausahaan/skill) yang terintegrasi, tidak mudah dikelola pada kondisi makro ekonomi Aceh saat ini dan akan datang.

"Secara ril ekonomi mesti dipahami tidak mudah dalam kondisi ekonomi saat ini yang sangat lemah seta carut marut kebijakan ekonomi politik Pemerintah Aceh," kata Taufiq.