Pengamat: Upaya Moeldoko Memperkarakan PD dari Awal Sudah Sangat Kontroversial

Saifuddin Bantasyam. Foto: Dokumen pribadi.
Saifuddin Bantasyam. Foto: Dokumen pribadi.

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam, menyebutkan manuver Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat diduga diketahui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara.


Manuver itu dilakukan melalui Peninjauan kembali (PK) terhadap Partai Demokrat (PD) yang diajukan kubu Moeldoko kepada Mahkamah Agung (MA).

Menurutnya, Moeldoko memperkarakan PD dari awal memang sudah sangat kontroversial. Pertama, karena Moeldoko adalah KSP yang merupakan jabatan sangat strategis karena menyangkut langsung dengan kegiatan-kegiatan kepresidenan. 

“Karena itu diduga, presiden dianggap tahu terhadap upaya Moeldoko mengambil alih PD dan tidak melakukan upaya pencegahan,” kata Saifuddin kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 31 Mei 2023.

Dia menjelaskan, bahwa dalam hukum acara, Peninjauan Kembali (PK) adalah salah satu bentuk upaya hukum luar biasa setelah upaya hukum biasa, yaitu kasasi (yang sudah berkekuatan tetap), dianggap tidak memberikan keadilan oleh satu pihak. Hak ini diatur di dalam UU No. 1/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). 

Dimana jika dilihat pada aturan normatif ini, maka Moeldoko sebagai pemohon memang memiliki hak untuk mengajukan PK tersebut.

Kemudian, dalam praktiknya, pengajuan PK itu harus memiliki dasar yang cukup. Pada waktu mengajukan PK, pemohon harus memiliki bukti baru yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya. 

“Apabila itu dikemukakan pada persidangan sebelumnya, putusannya akan menjadi lain, atau memiliki bukti bahwa hakim telah salah dalam menerapkan hukum,” jelasnya.

Dia menuturkan, putusan (kasasi dan atau banding) yang dimohonkan PK antara lain apabila setelah adanya putusan tetap, ditemukan kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu, atau juga disebutkan karena ada novum baru dalam kasus yang dimaksud. 

“PK bisa juga diajukan jika ditemukan kenyataan bahwa putusan hakim mengabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut,” ujarnya.

Atas menuver Moeldoko tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurthi Yudhoyono (AHY) buka suara. Kepada kader Demokrat, SBY dan AHY menegaskan bahwa pihak Moeldoko sebagai penggugat sudah 16 kali kalah dalam proses hukum sebelumnya mulai dari di pengadilan negeri sampai ke pengadilan tinggi. 

Dia melihat, dengan dua keadaan tersebut, maka masuk akal jika ada pandangan saat ini bahwa upaya Moeldoko itu memiliki motif politik dibanding hukum. 

“Namun, seperti saya katakan tadi, secara hukum pula, Moeldoko sebagai salah satu pihak, memang memiliki hak untuk PK. Jadi, mau digunakan atau tidak, ya terserah pada Moeldoko sebagai pemegang hak,” ucapnya.

Adapun pernyataan SBY bahwa jika benar dilakukan PK maka betul bahwa ada tangan politik yang ingin menganggu PD untuk ikut pemilihan presiden dan wakil presiden, juga hal yang wajar. 

“Sebab dalam kenyataannya penegakan hukum dalam sejumlah kasus di Indonesia, sering tidak memberikan keadilan," tegasnya.

Hal ini, menurutnya, antara lain karena masuknya tangan-tangan tertentu yang kemudian memengaruhi proses hukum. Ini terlihat pada adanya polisi, jaksa, dan hakim (bahkan sampai hakim MA dan Mahkamah Konstitusi) yang ditangkap dan dipenjara karena memain-mainkan hukum saat menjalankan fungsi dan tugasnya. 

“Namun, saya ingin mengingatkan bahwa sekali sebuah perkara bergulir ke proses hukum atau pengadilan, maka semua pihak, suka atau tidak suka, harus menunggu putusan pengadilan diucapkan,” kata dia.

Saifuddin menyarankan pihak terkait jika tidak puas, maka silakan gunakan upaya hukum yang sudah ada, sampai kemudian tak ada lagi upaya hukum apapun yang tersisa. 

“Pada titik ini, setiap orang harus menerima apapun keputusan pengadilan. Inilah salah satu ujung dari proses yang bergulir ke meja hakim,” ujar Saifuddin.