Perempuan Aceh Jadi Pihak Paling Dirugikan dalam Kasus Perampasan Lahan oleh Perusahaan Perkebunan

Diskusi dalam kegiatan perlindungan perempuan yang digelar LBH Banda Aceh. Foto: Muhammad Fahmi.
Diskusi dalam kegiatan perlindungan perempuan yang digelar LBH Banda Aceh. Foto: Muhammad Fahmi.

Perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan akibat kerusakan lingkungan dan konflik lahan. Dua kerusakan ini meningkatkan kesulitan yang dialami oleh perempuan. 


“Saat terjadi perampasan lahan, maka yang terjadi adalah penyempitan ruang, atau bahkan banyak keluarga, suami dan istri, kehilangan lahan. Akibatnya, mereka tidak memiliki mata pencarian untuk menghidupi keluarga,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, di sela-sela acara "Tulak Bala", Rabu, 8 Desember 2021. 

Tanpa lahan, mau tidak mau, suami dipaksa untuk bekerja untuk perusahaan. Demikian juga si istri. Mereka terpaksa bekerja menjadi buruh harian lepas untuk perusahaan-perusahaan yang merampas lahan mereka. Perusahaan perkebunan hanya membayar Rp 30 ribu untuk buruh kasar. Sebagai buruh, jika terjadi kecelakaan kerja, biaya yang muncul akibat insiden itu tidak ditanggung perusahaan. 

Di saat yang sama, perempuan juga dituntut untuk mengurus keluarga. Dengan penghasilan pas-pasan, perempuan yang menjadi korban perampasan lahan harus bekerja lebih keras agar anak-anak mereka dapat makan dan bersekolah. Saat bekerja di perkebunan, kata Syahrul, perempuan juga rentan mengalami kekerasan. 

Karena itu Syahrul mendorong agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang agraria. Apalagi Aceh diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk mengurus sendiri urusan pertanahan. 

Pemerintah Aceh, kata Syahrul, perlu menata ulang kebijakan pengelolaan pertanahan di Aceh. Salah satunya caranya adalah dengan mempercepat pengasahan rancangan Qanun Pertanahan yang saat ini berproses di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

"Sudah lima tahun diwacanakan, namun hingga saat ini belum disahkan,” kata Syahrul.

Pemerintah Aceh harus berpihak kepada rakyat. Saat angka kemiskinan di Aceh tinggi, kata Syahrul, itu sangat terkait dengan kesalahan dalam mengelola pertanahan. Klaim yang menyebut semakin banyak perusahaan, terutama di bidang perkebunan dan pertambangan, yang masuk ke Aceh bakal meningkatkan kesejahteraan; jauh panggang dari api. 

Penggunaan lahan untuk sektor perkebunan dan pertambangan saat ini mencapai mencapai 1.132.077,77 hektare. Hal itu terus meningkat seiring peningkatan konflik lahan di Aceh. LBH Aceh mencatat, jumlah anggota masyarakat dirampas tanahnya mencapai 3.779 jiwa. 

Sedangkan jumlah masyarakat yang dikriminalisasi mencapai 58 orang. Sementara sembilan orang diculik.