Perilaku Saipul Jamil Bentuk Hilangnya Sensitivitas terhadap Korban Pelecehan Seksual

Saipul Jamil. Foto: net.
Saipul Jamil. Foto: net.

Wakil Ketua LPSK RI, Maneger Nasution, mengaku prihatin terhadap glorifikasi kebabasan Saipul Jamil dari penjara setelah menjalani hukuman atas pelecehan seksual. Dia menilai hal itu adalah cermin hilangnya sensitifitas terhadap korban dan ancaman post truth.


"Sangat berbahaya jika Saipul Jamil mendapat glorifikasi di kanal media seolah-olah dia mendapat dukungan publik atas perbuatannya sebagai penjahat seksual yang meskipun sudah dihukum, tetapi perilaku tersebut dapat cenderung berulang,” kata Manager seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Selasa, 7 September 2021.

Maneger mencontohkan publik figur yang tertangkap kasus penyalahgunaan narkoba dan sudah menjalani hukuman penjara. Terbukti beberapa dari mereka cenderung mengulangi lagi kejahatan tersebut karena sudah kembali ke dunia entertainment yang membuat dirinya punya sumber daya dan sumber dukungan bagi kesalahan yang sudah dibuat.

Atas alasan itu, Maneger Nasution menilai tindakan permisif dan terbuka dari media elektronik kepada Saipul Jamil tidak dapat ditolerir dalam bentuk apa pun.

Glorifikasi ini bukan hanya hilangnya empati tapi juga hilangnya hati nurani dan nilai kemanusiaan kepada korban yang mungkin traumanya tidak akan hilang seumur hidup.

Sementara bagi pelaku, tindakannya hanyalah sebuah panggung komedi untuk membuat publik tertawa dan dia mendapat keuntungan finansial dari perilakunya.

“Sehingga media elektronik jangan hanya mengejar keuntungan dan mengorbankan moralitas dan nurani,” kata Maneger.

Selain itu, ruang maaf di publik tentu masih ada, namun untuk glorifikasi dianggap sangat berlebihan dan cenderung berbahaya. Permaafan dapat diberikan jika ada penyesalan. Namun dengan glorifikasi yang berlebihan dan orang yang berkepentingan, tentunya tidak terlihat ada penyesalan itu seolah-olah menjadi napi hanyalah lelucon yang tidak membuat si pelaku jera sama sekali.

Maneger melihat bahwa glorifikasi itu juga membawa pesan ancaman post truth. Post truth oleh Steve Tesich dalam “The Government of Lies" yang dimuat di majalah The Nation (1992), ditulis bahwa “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth”.

Tesich memperkenalkan teori post truth itu untuk menggambarkan kegelisahan nurani kemanusiaannya melihat Perang Teluk dan Iran. Lalu, sambung Maneger Nasution, Ralph Keyes, dalam The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber (2004) juga memperkenalkan hal yang kurang lebih sama, truthiness. Teori ini mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.

“Sampai pada akhirnya post truth mencapai puncaknya di tahun 2016. Dua peristiwa yang menjadi momentum saat itu adalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat,” sambungnya.

Pada 2016, post truth bahkan menjadi word of the year di kamus Oxford. Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.

“Sederhananya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan publik,” urainya. Maneger mengatakan satu kebohongan yang disampaikan tetap jadi kebohongan. Namun saat kebohongan disampaikan beribu kali, maka dia akan jadi kebenaran.