Perkebunan Sawit: Cultuurstelsel yang Diawetkan

Kebun sawit. Foto: Net.
Kebun sawit. Foto: Net.

USAI Sholat Idulfitri 2 Mei lalu, kami menghabiskan waktu 4 hari di Pulau Selayar dan Pulau Bahuluang, ujung selatan. Sepanjang perjalanan, kami selalu disuguhi nyiur melambai perkebunan kelapa rakyat nan eksotik. Entah berapa ratus ribu hektare luas lahan itu.

Di tengah perjalanan, saya masih menemukan masyarakat yang nyaris tiap hari mengepulkan asap. Mengeringkan daging buah kelapa menjadi kopra.

Olahan kopra selayar ini, terutama kopra putih, dulunya diekspor ke pelbagai negara tujuan. Ini menjadi unggulan ekspor. Zaman sebelum Indonesia mengenal kelapa sawit dan CPO, dulunya masyarkat Selayar dan daerah-daerah lain hidup dari kearifan lokal petani kelapa rakyat dan usaha kopra.

Komoditas kelapa rakyat, sekali lagi, dulunya, justru mampu mendongkrak kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kita pun hanya mengenal minyak kelapa dari hasil kelapa rakyat dan produk turunannya. Dan, tampaknya, minyak kelapa tradisional itu, jauh lebih higienis dan ramah lingkungan dibanding minyak nabati yang populer di Tanah Air saat ini.

Namun, setelah kelapa sawit ditanam massal, dengan obsesi meningkatkan devisa negara dari minyak nabati ini, pemerintah memberi keistimewaan bagi pemodal kakap untuk menggarap perkebunan sawit. Kelapa rakyat kemudian “dianaktirikan”.

Puluhan juta hektare lahan hutan "dipaksa" dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit. Ujungnya, perkebunan sawit ini menjadi tambang "emas hijau" yang terus-menerus menjadi sumber pemasukan utama pemodal kakap. Mirip di zaman cultuurstelsel (sistem tanam paksa) di era kolonial Belanda.

Makanya, terasa sulit menemukan pemodal kakap di Tanah Air yang tidak bermain di perkebunan kelapa sawit dan industri CPO. Mereka yang usaha awalnya hanya tukang jualan  rokok di Pulau Jawa saja justru makin menambal pundi-pundinya di usaha sawit ini. Merambah lahan Sumatera dan Kalimantan.

Demikian juga yang bergerak di sektor keuangan ikut berjibaku di usaha sawit ini. Benar-benar menggiurkan, tidak ada ruginya. Bahkan, mereka yang modal tanggung saja, asal mau bercumbu alias berkolaborasi alias menjadi komprador dari pemodal jumbo pemilik perkebunan sawit, pasti akan kecipratan kekayaannya secara eksponensial.

Dan, harap diingat mereka inilah yang salah satunya bertanggung jawab kenapa harga minyak goreng terkerek naik. Karena mereka pasti tahu siapa sesungguhnya pelaku kartel CPO dan migor itu.

Nun jauh di Selayar sana, dan daerah-daerah penghasil kopra atau kelapa rakyat di Tanah Air, kebijakan afirmatif terhadap nasib petani kelapa rakyat tak pernah ditengok oleh pemerintah pusat.

Mereka dibiarkan beradu dengan ganasnya alam. Keinginan untuk mengapitalisasi secara serius kelapa dan kopra rakyat tidak pernah muncul dalam bentuk kebijakan. Koperasi kopra pun tidak pernah beringsut naik nasibnya. Cerita kelapa rakyat hanya nyanyian pengantar tidur: "nyiur hijau di tepi pantai, siar-siur daunnya melambai".

Sementara, perlakuan terhadap perkebunan  kelapa sawit dan industri CPO terus dimanja. Padahal dari hulu hingga hilir, sawit selalu bermasalah. Mulai soal tanaman ini yang rakus air, monokultur, eksploitasi unsur hara dan kesuburan tanah, hingga selalu melahirkan cerita kepincangan penguasaan lahan.

Cerita lahan sawit selalu menumpahkan air mata kesedihan bagi rakyat. Karena banyak cerita ketidakadilan dan penindasan. Coba tanyakan, darimana mereka itu memperoleh jutaan hektare lahan sawit, kalau bukan karena koneksi dentgan oligarki politik negara.

| Penulis adalah Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD).