Perlindungan terhadap Pekerja Perikanan Masih Diabaikan

Kapal penangkap ikan di Cirebon, Jawa Tengah. Foto: ist.
Kapal penangkap ikan di Cirebon, Jawa Tengah. Foto: ist.

Direktur SAFE Seas Project, Nono Sumarsono, mengatakan banyak awak kapal perikanan asal Indonesia yang mengalami masalah. Hak mereka sebagai pekerja kerap diabaikan karena bekerja tanpa perlindungan yang pantas dan mereka harus dibela. 


“Mereka ini belum punya kontrak kerja yang jelas. Mereka disebut sebagai pekerja informal yang sering dianggap sebagai bagian dari sistem produksi, mereka perlu perbaikan kesehatan dan kesejahteraan,” kata Nono dalam seminar virtual yang digelar Ikatan Sarjana  Kelautan Indonesia (Iskindo), Senin, 3 Mei 2021.

Selain Nono Sumarsono, diskusi itu menghadirkan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah ISKINDO Provinsi Jawa Tengah Riyono dan Pengelola Fishers Center Bitung Laode Hardiani dan dimoderatori koordinator bidang Komunikasi, Informasi dan Ketenagakerjaan DPP ISKINDO Kamaruddin Azis.  

Menurut Nono, awak kapal perikanan disebut salah satu pekerjaan berbahaya. Hak-hak mereka terpinggirkan. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk meratifikasi ILO 188 dengan penekanan bahwa kapal perikanan harus memastikan keamanan dan keselamatan awak dengan menyediakan alat keselamatan dan pelindung di atas kapal. 

“Menurut kami, sistem bagi hasil itu harus melibatkan ABK. Tetapi kembali lagi, ini soal rekognisi, pekerjaan di atas kapal ini tidak sama dengan di pabrik,” sebut Nono. 

Dia menyebut bahwa jika di pabrik garmen, pekerja bekerja dan dapat gaji, pada awak kapal perikanan lain lagi, mereka kadang tidak dibayar, dikasih pinjaman di awal dan bagi hasil tak jelas. 

Dia menandaskan bahwa harus ada perbaikan nilai Upah Minimum Regional (UMR) yang adil untuk pekerja perikanan. Di beberapa tempat di Jawa Tengah ini masih sulit tetapi di Sulawesi Utara, Bitung, sudah ada kemajuan terkait perbaikan upah ini termasuk asuransi yang disiapkan perusahaan.

Sektor perikanan menyerap hampir 2 juta pekerja. Namun sektor ini belum mendapatkan perlindungan maksimal dari negara. Padahal, awak kapal perikanan merupakan aset dalam sistem produksi dan memiliki kontribusi besar memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat. Dia menyebut hanya sekitar 30 persen dari total awak kapal perikanan yang memiliki kontrak kerja. 

Hal lain yang ditekankan Nono adalah perlunya kompetensi bagi AKP saat ada di atas kapal. Di kapal ikan Eropa, kompetensi ini sangat diperlukan, pengalaman, jam melaut, dan standar hak asasi manusia. 

“Beda seperti di kapal Cina. permintaan awak kapal perikanan besar tetapi tidak seketat di Eropa,” kata Nono. “Oleh sebab itu, kami di Plan Indonesia sejak adanya SAFE SEA dalam tiga tahun terakhir, bersama Kemenko Maritim mendorong Rencana Aksi Nasional Perlindungan Awak Kapal Perikanan ini.” 

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Iskindo Provinsi Jawa Tengah, dan juga anggota DPRD Jawa Tengah, Riyono, mengatakan upaya penguatan organisasi dan serikat awak kapal perikanan perlu segera dilakukan. “Aturan dan regulasi sudah terlalu banyak tapi implementasinya lemah.” 

Dia menilai perlu segera dibangun kesadaran kolektif bagi awak kapal perikanan untuk berjuang bersama dalam satu wadah organisasi serikat pekerja. Iskindo, kata dia, dapat menjadi salah satu dalam upaya ini. 

Seperti Nono, Riyono juga meminta Pemerintah segera berupaya agar dapat mendorong adanya ratifikasi atas ILO 188/2007. Di Jawa Tengah, dewan mendorong penganggaran untuk membantu awak kapal perikanan yang bermasalah atau kena musibah. 

Namun aturan-aturan itu harus pula memiliki cantelan di tingkat pusat. Sehingga terjadi harmonisasi regulasi yang melibatkan semua pihak. Dia juga menyarankan pengawasan saat rekrutmen perlu pembagian hasil yang adil untuk para pekerja perikanan. 

Field Manager Destructive Fishing Watch Indonesia untuk SSP dan juga pengelola Fisher’s Center Bitung, Laode Hardiani, mengatakan bahwa pihaknya melalui proyek SAFE SEAs telah menginisiasi sistem upaya deteksi dini serta pencegahan. Sehingga awak kapal perikanan tidak terjebak pada praktik kerja paksa.

Menurutnya, layanan Fisher’s Center mulai dari penyediaan informasi yang benar ke awak kapal perikanan hingga pendampingan kasus. Selama berdiri, mereka menerima 54 aduan dengan 103 korban. Aduan ini lantas teruskan kepada kepolisian, pemerintah provinsi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Luar Negeri. 

“Kita juga ikut bantu proses repatriasi 157 nelayan asal Indonesia di kapal Tiongkok melalui Bitung,” terangnya. “50 persen puluh persen kasus ke DJPT KKP dan hampir semua selesai dengan baik.” 

Ketua ISKINDO, M Zulficar Mochtar, menyebutkan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, seperti perlunya ratifikasi ILO 188, perlunya mengembangkan strategi gerak serta penentuan prioritas pemerintah dalam bentuk Strategi Advokasi Gerakan terkait perlindungan awak kapal perikanan ini.

“Lalu perlu adopsi teknologi dan IT untuk strategi perlindungan awak kapal perikanan ini termasuk pengorganisasiannya,” kata Zulficar.