Perpusnas Rawat 150 Naskah Kuno Milik Tarmizi Abdul Hamid

Tarmizi Abdul Hamid (berpeci) memperhatikan perawatan manuskrip miliknya oleh Perpusnas.
Tarmizi Abdul Hamid (berpeci) memperhatikan perawatan manuskrip miliknya oleh Perpusnas.

Sebanyak 150 manuskrip Aceh milik kolektor Aceh, Tarmizi Abdul Hamid dikonservasi oleh Tim Pusat Preservasi Naskah Kuno dan Alih Media Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI untuk pemanfaatannya bagi keilmuan Nusantara. 


Kegiatan tersebut berlangsung selama empat hari, mulai 22 hingga 24 Maret 2021 di kediaman Tarmizi Rumoh Manuskrip Aceh, Jln Seroja No.8A gampong Ie Masen Kayee Adang Banda Aceh. 

Salah seorang tim Pustakawan Ahli dan Preservasi Naskah Kuno Perpusnas RI, Leni Sudiarti menjelaskan, Perpusnas memiliki kewajiban untuk melestarikan manuskrip yang ada di nusantara khususnya manuskrip asli.

Menurut Leni, banyak manuskrip di nusantara memiliki keasliannya terutama Aceh. Untuk itu pihaknya melaksanakan program pemetaan naskah atau manuskrip Nusantara. Manuskrip yang akan diperbaiki terlebih dahulu dilakukan pemetaan. Salah satu yang sudah didata dalam peta naskah Nusantara adalah Rumoh Manuskrip Aceh milik Tarmizi Abdul Hamid.

"Maka tahun ini kami diamanahkan untuk melakukan konservasi di Rumoh Manuskrip Aceh," kata Leni di Banda Aceh, Kamis, 25 Maret 2021.

Adapun proses kegiatan perbaikan manuskrip yang dilakukan kata Leni, meliputi perbaikan fisik naskah dengan membersihkan seluruh lembaran naskah disemprot dengan bahan anti jamur dan noda kemudian dikeringkan, lalu ditambal sambung karena mengalami kerusakan yang parah. 

Kemudian dilanjutkan ke proses penjilidan serta dimasukkan ke cover box sesuai ukuran naskah itu sendiri, dimana cover box telah diberi sampul dengan menggunakan berbagai bahan khusus yang semua ini didatangkan dari luar negeri. 

Berdasarkan kerusakan yang ditemukan, Leni mengungkapkan, naskah kuno milik Tarmizi ada yang rusak berlubang-lubang atau robek karena usang ditelan usia ratusan tahun dan juga disebabkan oleh jamur.

"Dari kerusakan yang kita lihat, kita putuskan untuk dilakukan perbaikan fisik, ada yang ditambal, dijilid kembali sampai dibuatkan kotak penyimpanan," ujar Leni.

Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi menjelaskan pelestarian manuskrip seperti ini sangat penting dilakukan agar buah karya guratan pena ulama lintas zaman ini tetap utuh sepanjang masa. 

Yang dimaksudkan dengan ulama lintas zaman kata Cek Midi, yaitu walau leluhur orang Aceh sudah dipanggil oleh Allah 400 tahun yang silam, namun karya monumental dan masterpiece mereka tetap melambung tinggi seantero nusantara bahkan dunia. 

Nama dan karya intelektual islam Aceh ini hingga kini selalu menjadi referensi keilmuan yang telah digoreskan pada kertas -kertas yang dipesan khusus dari tanah Eropa pada era puncak Gilang - gemilang Aceh Darussalam pada eranya.

"Begitulah alasan saya sendiri memberi motto Manuskrip Aceh ini sebagai pelita yang tidak pernah padam," kata Cek Midi.

Oleh sebab itu lanjut Cek Midi, dirinya terpanggil jiwa untuk menyelamatkan warisan khazanah yang sangat mulia itu dari bentuk rasa tanggung jawab sebagai putra Aceh untuk memberikan bukti otentik kepada siapapun bahwa Aceh negeri dibawah angin yang melekat status sebagai daerah berperadaban yang sangat tinggi. 

Meskipun Cek Midi secara keilmuan berbeda dengan apa yang ia lakukan hari ini, karena cek Midi hanya seorang lulusan sarjana agribisnis ilmu pertanian, namun hal tersebut tidak dapat dipungkiri jika sejarah dan peradaban ini menjadi tanggung jawab oleh semua pihak apapun latar belakang dan profesi pekerjaannya.

Cek Midi menceritakan, salah satu alasan dan niat yang terbesit untuk menyelamatkan naskah kuno Aceh itu penting dilakukan, ketika dirinya menemukan khazanah keilmuan ini banyak tersimpan di museum-museum dan perpustakaan terkenal di luar negeri. 

Karya-karya buah pena indatu Aceh disimpan ditempat ini dengan pengamanan yang sangat ketat, begitu cara orang asing menghargai sebuah karya yang sudah menjadi artefak sejarah walau bukan buyut atau indatunya.  

"Saya banyak menemukan manuskrip atau naskah kuno itu berasal dari Aceh dan banyak ditulis dari ulama-ulama kita terdahulu," kata Cek Midi.

Cek Midi juga mengatakan proses pengumpulan manuskrip Aceh sudah dilakoninya sejak 1995. Sejumlah naskah penting itu hilang saat tsunami 2004. Tapi bencana tersebut tak menyurutkan niatnya untuk mengumpulkan dan merawat kembali naskah kuno Aceh hingga berlangsung saat ini. Manuskrip yang dimilikinya ada yang ditempatkan di pameran dunia melayu Islam termasuk Brunei Darussalam. 

Kebanyakan manuskrip yang ia dapat banyak berasal dari Aceh Besar, karena Aceh Besar merupakan tuan rumah dari kerajaan Aceh Darussalam, dan orang-orang terdahulu banyak menyimpan manuskrip di rumah-rumah dalam keadaan yang tidak terjaga dan terbengkalai. Kemudian ada yang dibawa pulang dari luar negeri, dan pemberian dari orang Aceh sendirian yang tinggal di luar Aceh.

"Maka kita kumpulkan dan bersihkan kembali manuskrip ini agar menjadi ilmu pengetahuan bagi cucu kita nantinya," kata Cek Midi.

Ratusan manuskrip yang dikumpulkan oleh Cek Midi untuk direstorasi ada yang berupa mushaf Quran, tafsir, ilmu fiqih, tasawuf, astronomi, ibadah, doa-doa, syair, nazam dan teknik-teknik pengobatan masa lampau, semua terangkum dalam khazanah ilmu pengetahuan.

"Sampai sekarang manuskrip yang kita kumpulkan masih seperti tahun-tahun yang lalu, berkisar ratusan, tidak ada tambahan koleksi lagi," ujar Cek Midi.