Pertumbuhan Ekonomi Aceh Miris, Pengamat: Bagaikan Kehidupan Tanpa Pemerintah

Taufik Abdul Rahim. Foto: Facebook/TaufikAbdulRahim.
Taufik Abdul Rahim. Foto: Facebook/TaufikAbdulRahim.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Taufiq A Rahim, menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Aceh sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi Aceh selama 10 tahun terakhir rata-rata 2,66 persen menjadi yang terendah di Sumatera, yakni 3,92 persen.


Hal itu dikatakan Taufiq, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, terhadap pemaparan serta analisis dalam bentuk kuantitatif, kualitatif, angka serta statistik ihwal ekonomi Aceh.

"Ini memperlihatkan kondisi Aceh saat ini dalam kondisi miris," kata Taufiq kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 17 Januari 2023.

Dia mengatakan, dalam kehidupan ril rakyat Aceh secara “evident based” yaitu berlandaskan data serta fakta yang berlaku ditengah kehidupan rakyat penuh beban berat. Sehingga rakyat Aceh sepertinya kehilangan pegangan untuk mengadu, menyampaikannya, bahkan seperti pasrah dengan usaha untuk tetap mempertahankan kehidupannya.

"Bagaikan kehidupan tanpa pemerintah dan negara, tidak sebagaimana amanah undang-undang dasar negara serta pemimpin yang mesti mengayominya," katanya.

Dari hasil sajian BPS secara makro nasional, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 0,20 juta orang (9,57 persen) merujuk dari pada bulan Maret 2022 kenaikan 0,03 persen, ini memperlihatkan angka penduduk miskin per September 2022 sebesar 26,36 juta orang.

Hal yang menjadi dasar masalah kenaikan mendorong kemiskinan adalah, pemutusan hubungan kerja atau PHK (akibatnya bertambah jumlah pengangguran) dan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu kenaikan harga barang dan jasa di pasar.

"Konon untuk BBM di Aceh bukan saja naik dan atau tidak cukup dengan penyesuaian harga kenaikan BBM," ujarnya.

Namun demikian berlaku lagi pembatasan atau kuota terhadap BBM yang berlaku di pasar untuk Aceh, jika di pasar eceran non-SPBU untuk menghidari macet mengalami kenaikan harga BBM sekitar 10-20 persen dari harga eceran Pemerintah/Pertamina, karena permainan “mafia”.

Dia menyebutkan, secara makro ekonomi nasional dan Aceh menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi rendah triwulan ke III-2022 sebesar 5,72 persen Year on Year (Y-o-Y).

Sementara itu, untuk Aceh triwulan ke III-2022 dengan migas 2,13 persen, tanpa migas 2,72 persen (YoY), juga pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan III-2022 dengan migas tumbuh 1,72 persen, tanpa migas 1,78 persen Quartal to Quartal (Q-to-Q).

Demikian juga pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan ke III-2022 dengan migas 3,23 persen, tanpa migas 2,54 peren Cummulative to Cummulative (C-to-C). Juga dipicu oleh kondisi ekspor-impor dalam neraca perdagangan (pembayaran) yang defisit atau ekspor menurun atau lebih kecil dari impor.

Dia menjelaskan, sesungguhnya kondisi sangat memprihatinkan, pertumbuhan ekonomi Aceh jauh dibawah rata-rata nasional 5,72 persen, juga dibawah rata-rata Sumatera 3,50 persen. Demikian pula selama 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Aceh selama 10 tahun terakhir rata-rata tumbuh 2,66 persen

Kondisi ini berlangsung ditengah kucuran dana anggaran belanja publik pada posisi nomor lima secara nasional, nomor satu tertinggi di luar Pulau Jawa, bahkan didukung oleh anggaran belanja dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang telah dialokasikan melalui APBA Rp 97,697 Triliun Dana Alokasi Khusus atau DAK, disamping adanya alokasi APBA melalui Dana Alokasi Umum (DAU) setiap tahunnya puluhan triliun rupiah.

Namun kondisi memprihatikan ini didukung oleh kondisi inflasi Aceh, biasanya sekitar dua persen, saat ini hanya 0,4 persen sampai 0,5 persen berdasarkan survei BI Aceh. Hal ini memperlihatkan dan dapat dinyatakan bahwa rakyat Aceh secara merata tidak memegang uang, peredaran uang (velocity of money) rendah menjadikan daya beli rendah.

"Bisa saja jumlah yang banyak melalui APBA sebagai pengungkit atau stimulus perekonomian dikuasai dan atau dirampas oleh orang-orang dan kelompok tertentu dikalangan elite politik dan kekuasaan Aceh," jelasnya.

Menurutnya, mirisnya kondisi ekonomi Aceh secara realistis, disebabkan kemiskinan yang masih tinggi dan tertinggi di Sumatera, tingkat produktivitas rendah yang umumnya dari sektor basis seperti pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, UMKM, sektor informal, sektor dan lain-lain yang tidak memiliki modal yang cukup serta memadai.

Begitu juga, produksi pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan yang dijual keluar Aceh masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga nilai tambah ekonomi dinikmati para pengusaha diluar Aceh (Sumatera Utara) dan para perantara (agent) di luar pelaku utama ekonomi. 

Selain itu, biaya transporatsi yang ikut menyebabkan harga barang dan jasa yang tinggi, termasuk bahan kebutuhan pokok yang tidak terjangkau oleh rakyat Aceh umumnya, masyarakat akar rumput yang tidak bedaya. Hal ini juga dipicu oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kelangkaan atau pembatasan kuota BBM di Aceh.

"Bahkan dikeluarkan Surat Edaran Pj. Gubernur Aceh semakin semrawut distribusi minyak di SPBU Aceh dan tidak menyelesaikan permasalahan kelangkaan dan antrean untuk mendapatkan minyak ditengah kehidupan masyarakat Aceh umumnya," kata dia.

Taufiq menyarankan agar pemerintah segera mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan ini dengan kebijakan strategis, dengan alokasi APBA yang benar, tepat, transparan dan pro-rakyat, sehingga selaras dengan konsep “good and cleans governances”.