PGN Terpuruk, Sinuhun ke Mana

Ilustrasi: youtube
Ilustrasi: youtube

DALAM laporan keuangan 2020, Perusahaan Gas Negara (PGN) mengalami masalah keuangan yang buruk. Perusahaan dilaporkan merugi besar tanpa harapan dan jalan keluar.

Keuntungan sebelum pajak negatif atau merugi hingga USD 175.36 juta. Ini kerugian yang sangat memukul keuangan negara sekaligus. Sebab kalau perusahaan merugi maka setoran pajak perusahaan juga minim.

Setelah membayar pajak tahun 2020 senilai USD 40.41 juta, kerugian perusahaan menjadi USD 215.77 juta. Jika dikalikan dengan kurs Rp 14.500 per dolar AS, maka kerugian Perusahaan Gas Negara Tahun 2020 mencapai Rp 3,12 triliun lebih.

Tidak ada gambaran bagaimana PGN mengatasi kerugian yang akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Sementara pada bagian lain tekanan keuangan kian berat, baik karena situasi global maupun domestik.

Bayangkan saja, di saat kerugian triliunan rupiah mendera PGN, di bagian lain beban keuangan perusahaan kian meningkat. Hal ini terlihat dalam gambaran laporan keuangan. Liability atau kewajiban perusahaan meningkat dari USD 4,14 miliar pada 2019, menjadi USD 4,58 miliar pada 2020.

Peningkatan kewajiban yang mengkhawatirkan dis aat penurunan penerimaan perusahaan yang sangat signifikan. Utang terhadap equity perusahaan meningkat dari 85,04% pada 2019 menjadi 104,66% pada 2020. Ini akan menjadi sumber tekanan besar di masa mendatang karena kecenderungan utang akan terus bertambah.

Adapun utang besar bersumber obligasi perusahaan meningkat menjadi USD 1,964,322,891 pada 2020 atau sebesar Rp 28,48 triliun. Utang komersial yang harus dibayar mahal untuk membangun infrastruktur publik.

Sementara utang di bank dan kepada pemegang saham juga sangat besar, yakni mencapai USD 493,74 juta atau senilai Rp 7,16 triliun.

Total utang atau liability perusahaan saat ini tampaknya akan menjadi beban sangat besar bagi perusahaan. Liability perusahaan mencapai USD 4,58 miliar atau senilai Rp 66,39 triliun.

Kewajiban bunga atau beban keuangan mencapai USD 171,32 juta atau Rp 2,5 triliun. Kewajiban bunga yang setara dengan 5 sampai dengan 6 kali total gaji seluruh karyawan PGN.

Revenue perusahaan menurun sangat parah, dari USD 3,84 miliar menjadi USD 2,88 miliar. Penurunan penerimaan senilai USD 1 miliar ini adalah sumber masalah utama keuangan PGN.

Sedangkan perusahaan menolak mengakui bahwa Covid-19 berdampak pada keuangan. Manajemen mengatakan mereka telah menilai dampak dari kejadian ini (Covid-19) terhadap kegiatan operasional grup dan meyakini bahwa tidak ada dampak negatif yang signifikan yang perlu diperhitungkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang sulit untuk diprediksi saat ini.

Artinya dalam laporan keuangan tahun ini, Covid-19 bukan sebab penurunan penerimaan.

Sementara tekanan terhadap perusahaan telah datang dari regulasi dalam bentuk peraturan yang mewajibkan PGN menurunkan harga gas menjadi USD 6 per MMBTU untuk industri dan PLN. Ini akan semakin menekan penerimaan PGN di masa mendatang.

Tekanan keuangan lain datang dari sengketa pajak seabrek yang dihadapi PGN, termasuk sengketa pajak yang menimbulkan kewajiban membayar kepada pemerintah pada 2020. Walaupun proses hukum masih berlanjut.

Sementara kewajiban untuk membangun infrastruktur semakin membesar dikarenakan berbagai keharusan yang dibebankan dalam target-target yang ingin dicapai pemerintah.

Ini semua akan diatasi dengan utang. Karena harga saham perusahaan pun sudah lama menukik ke bawah. Apakah masih ada harapan lepas dari kebangkrutan? Wallahualam. 

| Penulis adalah peneliti pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).