Pilkada Serentak 2024 Tak Hanya Hadapi Banyak Kendala Teknis

Burhanuddin Muhtadi. Foto: net.
Burhanuddin Muhtadi. Foto: net.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai keputusan DPR dan pemerintah yang menarik revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dari prolegnas berimplikasi pada jadwal pelaksanaan Pilkada yang akan tetap digelar pada 2024.


Artinya, pelaksanaan Pilkada tetap mengacu pada UU 10/2016, yakni digelar pada tahun yang sama dengan pemilu nasional pilpres dan pileg. Burhanuddin mengatakan ketetapan DPR dan pemeirntah mencabut revisi UU Pemilu dari prolegnas bukan cuma menimbulkan permasalah teknis saja.

"Tapi yang saya pertanyakan hal-hal lain yang menurut saya jauh lebih mendasar," ujar Burhanuddin Muhtadi seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu, 13 Maret 2021.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut ada tiga masalah inti jika Pilkada digelar 2024.

"Isu soal legitimasi, isu soal demokratis tidaknya pilihan pejabat (Pj/Plt) yang tidak dilalui melalui proses pemilu dan terkahir ada alasan keamanan," kata Burhanuddin.

Burhanuddin Muhtadi mengurai satu persatu masalah inti dari penyelenggaraan Pilkada di 2024 mendatang tersebut. Di mana yang pertama adalah terkait dengan penunjukan pejabat sementara, pejabat, ataua pelaksana tugas kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum 2024.

Menurutnya, pejabat gubernur yang akan ditunjuk oleh presiden, sementara pejabat walikota dan bupati ditunjuk oleh mendagri memiliki jumlah yang cukup bayak. Dari aspek politik demokratis, mereka tidak punya legitimasi karena tidak dipilih secara langsung oleh masyarakat.

"Bagaiamana mungkin kita memberikan mandat kepada pejabat apalagi dalam waktu 2 tahun sampai 2024, sementara mereka bukan pejabat by election, by selection, itu problem demokrasi," kata Burhanuddin.

Kemudian, masalah kedua adalah perihal legitimasi pemilu yang menurutnya akan berkurang. Karena, Burhanuddin Muhtadi menduga akan muncul stigma politis di masyarakat, apabila kepala daerah yang habis masa jabatannya digantikan oleh pejabat, pejabat sementara atau pelaksana tugas.

"Apakah ada pihak tertentu yang diuntungkan secara elektoral? Dan itu berhubungan dengan masa krusial 2024. Tentu ada dugaan politis bahwa pejabat gubernur, bupati, walikota akan menguntungkan pihak tertentu," kata Burhanuddin. "Suatu prasangka yang tidak bisa disalahkan. Dan kalau prasangka itu meluas orang bisa mempertanyakan hasil legitimasi pemilu 2024. Itu problem."

Adapun masalah yang terkahir yakni terkait keamanan pelaksanaan pemilu. Dalam konteks ini, Burhanuddin Muhatdi tidak menutup kemungkinan adanya kisruh disuatu daerah, sedangkan jumlah personel keamanan tidak cukup banyak.

Misalnya, kata Burhanuddin, terdapat 500 daerah yang melaksanakan pilkada. Kemudian di satu wilayah ada masalah keamanan. Aparat keamanan tidak bisa membawa aparat keamanan dari kabupaten atau kota sebelah, karena kabupaten atau kota tetangganya juga melakukan pilkada.